
Dolar Australia Kini Lebih Mahal dari Singapura, Kok Bisa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Australia terus menanjak melawan rupiah sejak awal Februari lalu. Alhasil, kurs dolar Australia kini lebih mahal ketimbang dolar Singapura.
Pada perdagangan Jumat (4/3) pukul 13:22 WIB, dolar Australia berada di Rp 10.575/AU$, menguat 0,3% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Sementara Dolar Singapura sempat turun ke kisaran Rp 10.566/US$.
Kali terakhir dolar Australia lebih mahal ketimbang dolar Singapura pada 9 November tahun lalu. Kurs dolar Australia biasanya selalu lebih murah ketimbang dolar Singapura, jika lebih mahal biasanya tidak berlangsung lama.
Kenaikan harga komoditas menjadi penopang penguatan dolar Australia. Harga batu bara misalnya, kemarin memang ambrol nyaris 20% ke US$ 358,45/ton, tetapi sehari sebelumnya meroket lebih dari 46% ke US$ 446/ton yang menjadi rekor tertinggi sepanjang masa.
Prospek peningkatan permintaan akan menjadi penopang kenaikan harga batu bara. Konflik Rusia-Ukraina menyebabkan pasokan gas alam di Eropa terancam.
Negeri Beruang Merah adalah pemasok sekitar 35% kebutuhan gas di Benua Biru. Perang, plus berbagai sanksi bagi Rusia, akan membuat pasokan itu terancam seret.
Oleh karena itu, batu bara akan kembali dilirik sebagai sumber energi primer pengganti gas alam. Jerman sudah membuka wacana soal ini.
Hal ini tentunya menguntungkan Australia yang merupakan eksportir batu bara terbesar kedua setelah Indonesia.
Selain itu, bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) yang membuka peluang kenaikan suku bunga di tahun ini juga memicu kenaikan dolar Australia sejak awal Februari. Sebabnya, inflasi yang sudah mencapai target, dan perekonomian yang terus membaik.
Biro Statistik Australia pada akhir Januari lalu melaporkan inflasi di kuartal IV-2021 tumbuh 1,3% dari kuartal sebelumnya. Sehingga inflasi selama setahun penuh menjadi 3,5% di 2021.
Kemudian inflasi inti tumbuh 1% di kuartal IV-2021 dari kuartal sebelumnya. Sepanjang 2021, inflasi inti tumbuh sebesar 2,6% yang merupakan level tertinggi sejak 2014. Kenaikan inflasi inti tersebut lebih tinggi dari ekspektasi ekonomi sebesar 2,3%, dan mencapai target RBA sebesar 2% sampai 3%.
Pasar finansial bahkan memprediksi RBA bisa menaikkan suku bunga di awal Juni.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tahun Lalu Jeblok 4%, Dolar Australia Turun Lagi di Awal 2022
