Hati-hati! Di Kurs Tengah BI, Rupiah Sudah Rp 14.818/US$

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 September 2020 10:08
Penukaran uang
Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Rupiah juga melemah di perdagangan pasar spot.

Pada Kamis (3/8/2020), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.818. Rupiah melemah 0,09% dibandingkan hari sebelumnya dan menyentuh posisi terlemah sejak Mei.

Di pasar spot, rupiah pun merah. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.770 di mana rupiah melemah 0,2%.

Kala pembukaan pasar, rupiah melemah 0,07%. Seiring jalan, rupiah semakin dalam memasuki zona merah.

Pelemahan rupiah terjadi kala dolar AS 'teraniaya' di Asia. Ya, hampir seluruh mata uang utama Benua Kuning menguat di hadapan dolar AS. 

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning di perdagangan pasar spot pada pukul 10:04 WIB:

Dolar AS tidak hanya terpukul di Asia, tetapi juga secara global. Pada pukul 09:17 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) melemah 0,06%.

Mata uang Negeri Paman Sam masih menjalani tren koreksi. Dalam tiga bulan ke belakang, Dollar Index ambles 4,03%. Indeks ini terpangkas 3,74% secara year-to-date. ]

Sepertinya investor kecewa dengan data ketenagakerjaan AS. ADP National Empolyment Report menunjukkan, perekonomian AS membuka 428.000 lapangan kerja pada Agustus 2020. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 212.000, tetapi cukup jauh di bawah konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 950.000.

Bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) juga meluncurkan Beige Book terbaru yang merangkum komentar pelaku usaha dalam memandang situasi ekonomi terkini. Buku itu menuliskan bahwa penciptaan lapangan kerja melambat, jumlah pekerja yang awalnya dirumahkan tetapi kemudian di-PHK meningkat. Ini terjadi karena permintaan masih lemah.

"Risiko ke bawah (downside risk) tetap ada di pasar tenaga kerja," ujar Rubeela Farooqi, Chief US Economist di High Frequency Economics yang berbasis di New York, seperti dikutip dari Reuters.

Namun mengapa rupiah masih saja lesu? Kalau dolar AS yang 'sakit keras' saja bisa menang lawan rupiah, pasti masalahnya ada di dalam negeri.

Pelaku pasar dibuat galau oleh dinamika terbaru hubungan pemerintah dan Bank Indonesia (BI). Tersiar kabar bahwa ada kemungkinan BI tetap diminta berkontribusi dalam pembiayaan defisit anggaran alias burden sharing setidaknya sampai 2022.

Kepada para jurnalis media asing di Istana Bogor, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa jika pertumbuhan ekonomi tahun depan bisa berada di kisaran 4,5-5,5%, maka burden sharing mungkin tidak lagi dibutuhkan pada 2022. Pernyataan Jokowi bisa dimaknai bahwa masih ada peluang pemerintah akan meminta bantuan kepada BI untuk membiayai defisit anggaran setidaknya hingga 2022, andai pertumbuhan ekonomi di bawah target.

Pelaku pasar kecewa karena mengira burden sharing hanya kebijakan jangka pendek, sekali pukul, ad hoc, one off. Namun ternyata ada kemungkinan bertahan lama.

Gelontoran uang dari BI tersebut akan menambah jumlah uang beredar di perekonomian. Ketika jumlah uang beredar bertambah, maka inflasi akan terjadi karena nilai uang menjadi turun. Inflasi akan membuat imbalan berinvestasi di aset-aset berbasis rupiah (terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi) ikut terpangkas.

"Kami melihat monetisasi utang akan berisiko mendongkrak inflasi. BI memperkirakan pembelian SBN sebanyak Rp 397 triliun akan menyebabkan inflasi naik dari 4,88% menjadi 6,69% pada 2021," sebut Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, dalam risetnya.

Selain itu, pasar juga mencemaskan wacana amandemen Undang-undang (UU) BI. Salah satu opsi yang ada adalah kembalinya Dewan Moneter seperti masa Orde Baru.

Dewan Moneter memimpin, mengkoordinasikan dan mengarahkan kebijakan moneter sejalan dengan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian. Nantinya, Dewan Moneter terdiri Menteri Keuangan sebagai ketua, satu orang menteri di bidang perekonomian, Gubernur BI dan Deputi Senior BI, serta Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Jika dipandang perlu, maka pemerintah dapat menambah beberapa orang menteri sebagai anggota penasihat Dewan Moneter.

"Wacana ini artinya akan ada delusi dari independensi BI dalam hal penentuan suku bunga acuan dan kebijakan lainnya. Ini juga membuka peluang kembalinya kewenangan bank sentral ke pemerintah seperti dulu, dengan Direktorat Jenderal Moneter di Departemen Keuangan," lanjut Satria.

Sentimen terkait BI ini menjadi sentimen negatif bagi rupiah dalam dua hari terakhir. Sebelum ada kejelasan dari pihak-pihak terkait, langkah rupiah bakal terus terbeban.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular