Aneh! Dolar AS Babak Belur, Rupiah Malah Keok

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
02 September 2020 18:22
mata uang rupiah dolar dollar Bank Mandiri
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) sedang babak belur belakangan ini. Hal tersebut terlihat dari indeks dolar AS yang nyungsep ke level terendah dalam lebih dari 2 tahun terakhir. Sepanjang semester I-2020, indeks dolar AS masih mencatat penguatan 0,94%, tetapi memasuki kuartal III-2020 perlahan mulai menurun hingga akhirnya nyungsep.

Melansir data Refinitiv, sejak awal Juli hingga 1 September kemarin, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini merosot lebih dari 5% ke 92,338 yang merupakan level terendah sejak April 2018.

Saat indeks dolar AS melemah, kurs rupiah seharusnya bisa menguat, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Pada periode yang sama dengan merosotnya indeks dolar AS, rupiah justru melemah 2,72%. Sementara pada semester I-2020 saat indeks dolar menguat, rupiah membukukan pelemahan 2,16%.
Itu artinya, memasuki kuartal III-2020, dolar AS lesu dan rupiah juga loyo.

idrGrafik: Rupiah (Garis Oranye) Indeks Dolar AS (Garis Ungu)
Foto: Refinitiv

Grafik di atas menunjukkan bagaimana indeks dolar (garis ungu) yang menurun sementara kurs rupiah (garis oranye) bergerak naik yang artinya sama-sama melemah. 

Pemicu utama lesunya dolar AS yakni pemulihan ekonomi yang diprediksi akan berjalan lebih lambat ketimbang negara-negara lainnya, khususnya negara di Eropa.

Seperti diketahui sebelumnya, produk domestik bruto (PDB) AS di kuartal II-2020 dilaporkan mengalami kontraksi 31,7%, berdasarkan data pembacaan kedua. Kontraksi tersebut menjadi yang paling parah sepanjang sejarah AS. Di kuartal I-2020, perekonomiannya mengalami kontraksi 5%, sehingga sah mengalami resesi.

Pemulihan ekonomi diprediksi berjalan lambat akibat penambahan jumlah kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19) yang masih terus bertambah, sehingga perputaran roda bisnis masih tersendat-sendat.

Guna memulihkan perekonomian yang nyungsep tersebut, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) membabat habis suku bunga acuannya menjadi 0,25%, serta menerapkan kembali program pembelian aset atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE). Bahkan, kebijakan QE The Fed kali ini tanpa batas, artinya berapapun akan digelontorkan selama diperlukan untuk membantu perekonomian AS.

Akibat kebijakan tersebut, perekonomian AS menjadi banjir likuiditas, dan dolar AS melemah.

Kebijakan terbaru The Fed memperburuk kinerja the greenback. Bos The Fed, Jerome Powell, pada Kamis (27/8/2020) malam mengubah pendekatannya terhadap target inflasi. Sebelumnya The Fed menetapkan target inflasi sebesar 2%, ketika sudah mendekatinya maka bank sentral paling powerful di dunia ini akan menormalisasi suku bunganya, alias mulai menaikkan suku bunga.

Kini The Fed menerapkan "target inflasi rata-rata" yang artinya The Fed akan membiarkan inflasi naik lebih tinggi di atas 2% "secara moderat" dalam "beberapa waktu", selama rata-ratanya masih 2%.

Dengan "target inflasi rata-rata" Powell mengatakan suku bunga rendah bisa ditahan lebih lama lagi, guna membantu perekonomian yang mengalami resesi akibat pandemi Covid-19.

Suku bunga rendah yang ditahan dalam waktu yang lama tentunya berdampak negatif bagi dolar AS. Babak belurnya dolar AS terlihat dari kinerjanya melawan mata uang utama Asia dan Eropa sepanjang bulan Agustus, yang hanya mampu menguat melawan rupiah dan dolar Taiwan, serta nyaris stagnan melawan yen Jepang.

Mata uang lainnya beramai-ramai menguat mayoritas di atas 1% melawan dolar AS.

Seperti disebutkan sebelumnya, saat indeks dolar AS melemah rupiah seharusnya bisa menguat, tetapi nyatanya sebaliknya. Setidaknya ada beberapa isu yang membuat rupiah keok yakni kemungkinan resesi yang akan dialami Indonesia, suku bunga Bank Indonesia (BI) serta program "burden sharing".

Di kuartal II-2020, PDB Indonesia mengalami kontraksi -5,32% year-on-year (YoY), artinya jika di kuartal ini kembali minus Indonesia sah mengalami resesi untuk pertama kalinya sejak krisis moneter 1998. Risiko resesi kian nyata setelah pemerintah DKI Jakarta terus memperpanjang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga saat ini. Artinya nyaris sepanjang kuartal III-2020 atau nantinya sepanjang kuartal III akan dilalui dengan PSBB, sehingga laju pemulihan ekonomi berjalan lambat.

Bank Dunia dalam laporan Indonesia Economic Prospects edisi Juli 2020, dengan judul The Long Road to Recovery memperkirakan ekonomi Indonesia tidak tumbuh alias 0%. Namun Bank Dunia punya skenario kedua, yaitu ekonomi Indonesia mengalami kontraksi -2% pada 2020 jika resesi global ternyata lebih dalam dan pembatasan sosial (social distancing) domestik lebih ketat.

"Ekonomi Indonesia bisa saja memasuki resesi jika pembatasan sosial berlanjut pada kuartal III-2020 dan kuartal IV-2020 dan/atau resesi ekonomi dunia lebih parah dari perkiraan sebelumnya," tulis laporan Bank Dunia.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga semakin gamblang memproyeksikan PDB Indonesia akan minus di kuartal III-2020, artinya resesi.

"Dengan bacaan dan analisa di kuartal II-2020 dan terutama aktivitas ekonomi, pemerintah Kemenkeu proyeksi di 2020 adalah minus 1,1% hingga 0,2%. Lower end dari prediksi kita, menunjukkan bahwa mungkin di kuartal III-2020 kita mungkin masih di negatif growth dan kuartal IV masih dalam zona sedikit di bawah netral."

Sri Mulyani menyampaikan hal ini saat rapat di Badan Anggaran DPR, Rabu (2/9/2020).

Resesi sebenarnya terjadi dimana-mana, ada negara yang mengalami resesi tetapi mata uangnya masih tetap menguat, Singapura contohnya. Artinya, resesi bisa dimaklumi, sebab pemerintah di berbagai negara "menghentikan" aktivitas ekonomi demi meredam penyebaran Covid-19. Ketika virus yang berasal dari kota Wuhan China tersebut berhasil dihentikan, perekonomian perlahan bisa bangkit kembali bahkan ada yang rebound cepat, yakni China.

Guna membantu pemerintah membangkitkan perekonomian, Bank Indonesia (BI) di tahun ini memangkas suku bunga acuan (7 Day Reverse Repo Rate) sebanyak 4 kali masing-masing 25 basis poin (bps) menjadi 4%. Pemangkasan tersebut menjadi salah satu faktor yang membuat rupiah melempem di kuartal III-2020.

Sejak BI memangkas suku bunga pertengahan 16 Juli lalu, kurs rupiah terus melemah 1,85% hingga pertengahan Agustus lalu, sebelum posisinya sedikit membaik. Meski sejak saat itu BI memberikan sinyal tidak akan memangkas suku bunga lagi, tetapi investor memiliki keyakinan berbeda.

Saat suku bunga dipangkas, imbal hasil (yield) obligasi tentunya akan semakin menurun. Indonesia bisa kehilangan daya tarik investasinya, aliran modal ke dalam negeri berisiko seret, pasokan valas berkurang pada akhirnya nilai tukar rupiah akan kembali terpukul.

Program "burden sharing" antara pemerintah dari BI memperburuk kinerja rupiah. Pada awal Juli lalu Pemerintah-BI mengumumkan "burden sharing" dimana BI akan membeli obligasi pemerintah tanpa bunga alias zero coupon untuk keperluan public goods senilai 397,56 triliun. Kemudian ada lagi untuk non-public goods, BI akan menyerap obligasi pemerintah dengan yield sebesar suku bunga 7 Day Reserve Repo Rate dikurangi 1%.

Ada kecemasan di pasar jika, rencana "burden sharing" tersebut akhirnya terealisasi, inflasi di Indonesia akan mengalami kenaikan akibat semakin banyaknya jumlah uang yang beredar. Suku bunga dipangkas dan risiko kenaikan inflasi menjadi kombinasi yang buruk, real return yang dihasilkan dari investasi di Indonesia menjadi lebih rendah, sehingga menjadi tak menarik lagi. Aliran modal ke dalam negeri berisiko seret, rupiah pada akhirnya terpukul.

Kini program "burden sharing" kemungkinan akan berlanjut hingga tahun 2022, yang memukul rupiah hari ini, Rabu (2/9/2020) hingga melemah 1,2% ke Rp 14.740/US$, bahkan sempat menyentuh Rp 14.800/US$.

Kemungkinan diperpanjangnya "burden sharing" diisyaratkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada jurnalis media asing kemarin di istana Bogor. Jokowi mengungkapkan, jika pertumbuhan ekonomi tahun 2021 mencapai target 4,5%-5,5% maka pemerintah tidak perlu lagi melakukan program "burden sharing" di tahun 2022.

Artinya, jika pertumbuhan ekonomi tak mencapai target, maka program "burden sharing" akan kembali dilakukan.

Tekanan rupiah kini semakin bertambah akibat rencana Revisi Undang-Undang nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI). Dalam revisi ini akan ada banyak beberapa pasal yang dihapus dan juga ditambahkan.

Salah satu yang disoroti dalam revisi tersebut adalah adanya dewan moneter yang diketuai Menteri Keuangan, yang nantinya akan ikut dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG), bahkan juga memiliki hak suara dalam menentukan kebijakan BI. Hal tersebut dikhawatirkan akan menghilangkan independensi BI.

Melansir CNBC International, Kepala Ekonom Asean di Nomura, Euben Paracuelles, mengatakan revisi untuk menetapkan dewan moneter yang diketuai oleh menteri keuangan adalah "tidak biasa" dan tidak sejalan dengan praktek terbaik tentang bagaimana kebijakan moneter seharusnya ditetapkan.

"Investor mungkin melihat tersebut sebagai masalah besar, yang dapat memicu capital outflow, yang pada akhirnya menekan nilai tukar rupiah," katanya dalam program "Squawk Box Asia" di CNBC International hari ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular