Aneh! Dolar AS Babak Belur, Rupiah Malah Keok

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
02 September 2020 18:22
BI
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Luthfi Rahman

Resesi sebenarnya terjadi dimana-mana, ada negara yang mengalami resesi tetapi mata uangnya masih tetap menguat, Singapura contohnya. Artinya, resesi bisa dimaklumi, sebab pemerintah di berbagai negara "menghentikan" aktivitas ekonomi demi meredam penyebaran Covid-19. Ketika virus yang berasal dari kota Wuhan China tersebut berhasil dihentikan, perekonomian perlahan bisa bangkit kembali bahkan ada yang rebound cepat, yakni China.

Guna membantu pemerintah membangkitkan perekonomian, Bank Indonesia (BI) di tahun ini memangkas suku bunga acuan (7 Day Reverse Repo Rate) sebanyak 4 kali masing-masing 25 basis poin (bps) menjadi 4%. Pemangkasan tersebut menjadi salah satu faktor yang membuat rupiah melempem di kuartal III-2020.

Sejak BI memangkas suku bunga pertengahan 16 Juli lalu, kurs rupiah terus melemah 1,85% hingga pertengahan Agustus lalu, sebelum posisinya sedikit membaik. Meski sejak saat itu BI memberikan sinyal tidak akan memangkas suku bunga lagi, tetapi investor memiliki keyakinan berbeda.

Saat suku bunga dipangkas, imbal hasil (yield) obligasi tentunya akan semakin menurun. Indonesia bisa kehilangan daya tarik investasinya, aliran modal ke dalam negeri berisiko seret, pasokan valas berkurang pada akhirnya nilai tukar rupiah akan kembali terpukul.

Program "burden sharing" antara pemerintah dari BI memperburuk kinerja rupiah. Pada awal Juli lalu Pemerintah-BI mengumumkan "burden sharing" dimana BI akan membeli obligasi pemerintah tanpa bunga alias zero coupon untuk keperluan public goods senilai 397,56 triliun. Kemudian ada lagi untuk non-public goods, BI akan menyerap obligasi pemerintah dengan yield sebesar suku bunga 7 Day Reserve Repo Rate dikurangi 1%.

Ada kecemasan di pasar jika, rencana "burden sharing" tersebut akhirnya terealisasi, inflasi di Indonesia akan mengalami kenaikan akibat semakin banyaknya jumlah uang yang beredar. Suku bunga dipangkas dan risiko kenaikan inflasi menjadi kombinasi yang buruk, real return yang dihasilkan dari investasi di Indonesia menjadi lebih rendah, sehingga menjadi tak menarik lagi. Aliran modal ke dalam negeri berisiko seret, rupiah pada akhirnya terpukul.

Kini program "burden sharing" kemungkinan akan berlanjut hingga tahun 2022, yang memukul rupiah hari ini, Rabu (2/9/2020) hingga melemah 1,2% ke Rp 14.740/US$, bahkan sempat menyentuh Rp 14.800/US$.

Kemungkinan diperpanjangnya "burden sharing" diisyaratkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada jurnalis media asing kemarin di istana Bogor. Jokowi mengungkapkan, jika pertumbuhan ekonomi tahun 2021 mencapai target 4,5%-5,5% maka pemerintah tidak perlu lagi melakukan program "burden sharing" di tahun 2022.

Artinya, jika pertumbuhan ekonomi tak mencapai target, maka program "burden sharing" akan kembali dilakukan.

Tekanan rupiah kini semakin bertambah akibat rencana Revisi Undang-Undang nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI). Dalam revisi ini akan ada banyak beberapa pasal yang dihapus dan juga ditambahkan.

Salah satu yang disoroti dalam revisi tersebut adalah adanya dewan moneter yang diketuai Menteri Keuangan, yang nantinya akan ikut dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG), bahkan juga memiliki hak suara dalam menentukan kebijakan BI. Hal tersebut dikhawatirkan akan menghilangkan independensi BI.

Melansir CNBC International, Kepala Ekonom Asean di Nomura, Euben Paracuelles, mengatakan revisi untuk menetapkan dewan moneter yang diketuai oleh menteri keuangan adalah "tidak biasa" dan tidak sejalan dengan praktek terbaik tentang bagaimana kebijakan moneter seharusnya ditetapkan.

"Investor mungkin melihat tersebut sebagai masalah besar, yang dapat memicu capital outflow, yang pada akhirnya menekan nilai tukar rupiah," katanya dalam program "Squawk Box Asia" di CNBC International hari ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular