Hati-hati! Di Kurs Tengah BI, Rupiah Sudah Rp 14.818/US$

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 September 2020 10:08
rupiah
Ilustrasi Rupiah (REUTERS/Willy Kurniawan)

Namun mengapa rupiah masih saja lesu? Kalau dolar AS yang 'sakit keras' saja bisa menang lawan rupiah, pasti masalahnya ada di dalam negeri.

Pelaku pasar dibuat galau oleh dinamika terbaru hubungan pemerintah dan Bank Indonesia (BI). Tersiar kabar bahwa ada kemungkinan BI tetap diminta berkontribusi dalam pembiayaan defisit anggaran alias burden sharing setidaknya sampai 2022.

Kepada para jurnalis media asing di Istana Bogor, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa jika pertumbuhan ekonomi tahun depan bisa berada di kisaran 4,5-5,5%, maka burden sharing mungkin tidak lagi dibutuhkan pada 2022. Pernyataan Jokowi bisa dimaknai bahwa masih ada peluang pemerintah akan meminta bantuan kepada BI untuk membiayai defisit anggaran setidaknya hingga 2022, andai pertumbuhan ekonomi di bawah target.

Pelaku pasar kecewa karena mengira burden sharing hanya kebijakan jangka pendek, sekali pukul, ad hoc, one off. Namun ternyata ada kemungkinan bertahan lama.

Gelontoran uang dari BI tersebut akan menambah jumlah uang beredar di perekonomian. Ketika jumlah uang beredar bertambah, maka inflasi akan terjadi karena nilai uang menjadi turun. Inflasi akan membuat imbalan berinvestasi di aset-aset berbasis rupiah (terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi) ikut terpangkas.

"Kami melihat monetisasi utang akan berisiko mendongkrak inflasi. BI memperkirakan pembelian SBN sebanyak Rp 397 triliun akan menyebabkan inflasi naik dari 4,88% menjadi 6,69% pada 2021," sebut Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, dalam risetnya.

Selain itu, pasar juga mencemaskan wacana amandemen Undang-undang (UU) BI. Salah satu opsi yang ada adalah kembalinya Dewan Moneter seperti masa Orde Baru.

Dewan Moneter memimpin, mengkoordinasikan dan mengarahkan kebijakan moneter sejalan dengan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian. Nantinya, Dewan Moneter terdiri Menteri Keuangan sebagai ketua, satu orang menteri di bidang perekonomian, Gubernur BI dan Deputi Senior BI, serta Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Jika dipandang perlu, maka pemerintah dapat menambah beberapa orang menteri sebagai anggota penasihat Dewan Moneter.

"Wacana ini artinya akan ada delusi dari independensi BI dalam hal penentuan suku bunga acuan dan kebijakan lainnya. Ini juga membuka peluang kembalinya kewenangan bank sentral ke pemerintah seperti dulu, dengan Direktorat Jenderal Moneter di Departemen Keuangan," lanjut Satria.

Sentimen terkait BI ini menjadi sentimen negatif bagi rupiah dalam dua hari terakhir. Sebelum ada kejelasan dari pihak-pihak terkait, langkah rupiah bakal terus terbeban.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular