Dolar AS Jeblok, Bakal Lengser dari "Raja" Mata Uang Dunia?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
02 September 2020 20:12
dollar
Foto: REUTERS/Dado Ruvic/Illustration

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) Sedang dalam tren merosot memasuki semester II-2020, padahal di paruh pertama tahun ini masih membukukan kinerja positif.

Melansir data Refinitiv, sepanjang semester I-2020, indeks dolar AS mencatat penguatan 0,94%, tetapi memasuki semester II-2020 perlahan mulai menurun hingga akhirnya nyungsep. Sejak awal Juli hingga 1 September kemarin, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini merosot lebih dari 5% ke 92,338 yang merupakan level terendah sejak April 2018.

Pemicu utama lesunya dolar AS yakni pemulihan ekonomi yang diprediksi akan berjalan lebih lambat ketimbang negara-negara lainnya, khususnya negara di Eropa.

Selain itu kebijakan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) membabat habis suku bunga acuannya menjadi 0,25, serta menerapkan kembali program pembelian aset atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE), membuat perekonomian AS menjadi banjir likuiditas, akibatnya dolar AS melemah.

Kebijakan terbaru The Fed memperburuk kinerja the greenback. Bos The Fed, Jerome Powell, pada Kamis (27/8/2020) malam mengubah pendekatannya terhadap target inflasi. Sebelumnya The Fed menetapkan target inflasi sebesar 2%, ketika sudah mendekatinya maka bank sentral paling powerful di dunia ini akan menormalisasi suku bunganya, alias mulai menaikkan suku bunga.

Kini The Fed menerapkan "target inflasi rata-rata" yang artinya The Fed akan membiarkan inflasi naik lebih tinggi di atas 2% "secara moderat" dalam "beberapa waktu", selama rata-ratanya masih 2%.

Dengan "target inflasi rata-rata" Powell mengatakan suku bunga rendah bisa ditahan lebih lama lagi, guna membantu perekonomian yang mengalami resesi akibat pandemi Covid-19.

Suku bunga rendah yang ditahan dalam waktu yang lama tentunya berdampak negatif bagi dolar AS.

Banyak analis memprediksi periode penurunan dolar AS masih akan terus berlanjut, salah satunya Patrik Schowitz dari JPMorgan Asset Management.

"Penurunan suku bunga membuat dolar AS menjadi kurang menarik dan mendorong investor mempertimbangkan deposito di mata uang lain. Siklus seperti ini tidak akan berbalik dengan cepat dan dolar AS memiliki ruang untuk melemah lebih jauh," tulisnya Schowitz dalam sebuah catatan yang dikutip CNBC International, Minggu (23/9/2020).

Meski demikian, jangan salah dolar AS tidak akan kehilangan statusnya sebagai mata uang dunia, meski mata uang lainnya, seperti yuan China popularitasnya sedang menanjak.

Posisi dolar AS sebagai "raja" mata uang dunia dimulai sejak perjanjian Bretton Woods tahun 1944, di mana bank sentral negara-negara dunia menetapkan nilai tukar mata uangnya terhadap dolar AS.

Sejak saat itu dolar AS resmi menjadi mata uang yang paling banyak digunakan dalam perdagangan internasional dan porsinya di cadangan devisa suatu negara menjadi yang terbesar. Dengan demikian akan sulit melengserkan dolar AS dari tahtanya.

Berdasarkan data dari Dana Moneter International (IMF) porsi dolar AS dalam cadangan devisa di dunia sekitar 61% di kuartal I-2020, dengan nilai US$ 6.794,91 miliar. Yang terdekat, euro sekitar 20% dengan nilai US$ 2.197,91 miliar.

Sementara yuan yang popularitasnya sedang menanjak hanya 2% dengan nilai US$ 221,48 miliar.

Meski demikian, dalam beberapa tahun ke depan yuan diprediksi masuk dalam tiga besar mata uang cadangan devisa. Dalam beberapa tahun terakhir, porsi yuan di cadangan devisa global terus bertambah secara konsisten. Pada tahun 2016 porsi yuan di cadangan devisa dunia hanya 1%.

Penambahan porsi yuan tersebut diprediksi masih akan terus terjadi di tahun-tahun mendatang hingga mencapai 5-10% dari total cadangan devisa dunia.

"Pada akhirnya, apa yang kita pikirkan akan terjadi dalam 25 tahun ke depan adalah kita akan maju, kita akan memiliki dunia dengan tiga mata uang utama: dolar AS, euro, dan yuan" kata Massimiliano Castelli, head of strategy and advice, global sovereign markets, dari UBS Asset Management, sebagaimana dilansir Reuters.

Meski demikian, tetap saja dolar AS diprediksi menjadi yang teratas.

"Dalam 25 tahun ke depan, porsi dolar dalam cadangan devisa global adalah sebesar 60-65%. Saya tidak melihat alasan, kenapa kita tidak bisa melihat dolar dengan porsi 50%, euro 20-25%, dan yuan 5-10% dan menjadikannya mata uang dengan porsi terbesar ketiga di cadangan devisa" tambahnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular