
Dolar AS Lagi Kepayahan, Rupiah Perkasa Pekan Ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan ini rupiah melenggang ke jalur hijau di tengah kombinasi sentimen positif dan negatif dari dalam negeri. Untung saja, dolar Amerika Serikat (AS) sedang terkena aksi jual investor mengantisipasi kebijakan bank sentral AS.
Penguatan rupiah sepekan ini justru meyakinkan, dengan hanya 1 hari pelemahan yakni pada Rabu (jelang pengumuman perpanjangan masa transisi Pembatasan Sosial Berskala Besar/PSBB yang diumumkan pada Kamis), sementara 4 hari lainnya menguat.
Pada Jumat (29/8/2020), Mata Uang Garuda bertengger di level 14.615 per dolar AS, atau menguat 0,24% secara harian. Secara mingguan, rupiah juga terhitung menguat, yakni sebesar 1,05% dibandingkan dengan posisi akhir pekan lalu pada Rp 14.770 per dolar AS.
Penguatan rupiah terjadi bahkan sejak hari Senin, dengan apresiasi sebesar 0,68% ke Rp 14.670 per dolar AS. Penguatan itu merupakan yang terbesar di antara kurs utama kawasan Asia Tenggara.
Pemicunya masih dari Bank Indonesia (BI) yang sebelumnya merilis surplus neraca pembayaran Indonesia per April-Juni US$ 9,2 miliar. Surplus ini merupakan yang tertinggi sejak kuartal kedua tahun 2011 atau sembilan tahun silam. BI juga memutuskan menahan suku bunga acuan.
Bahkan, sentimen perpanjangan masa transisi PSBB tak cukup untuk menjegal penguatan rupiah. Meski sempat tertekan pada tengah hari di perdagangan Jumat, rupiah justru berbalik menguat di sesi penutupan.
Jangan menepuk dada terlebih dahulu. Penguatan rupiah pada Jumat itu bukanlah satu-satunya, mengingat semua mata uang utama di kawasan juga tengah terapresiasi melawan dolar AS.
Maklum saja, greenback memang sedang menjadi bulan-bulanan investor global yang tengah mengantisipasi pengumuman pendekatan baru soal inflasi dalam kebijakan moneter bank sentral AS yakni Federal Reserve (The Fed).
Intinya, inflasi akan dibiarkan meninggi di atas 2% sementara suku bunga acuan (Fed Funds Rate) dipertahankan di level sekarang yang mendekati nol (0%-0,25%). Ini menciptakan kombinasi tekanan terhadap pasar surat utang pemerintah AS.
Inflasi tinggi membuat keuntungan riil (real return) obligasi pemerintah AS mengempis, manakala yield yang sudah rendah sulit meningkat karena suku bunga acuan yang rendah. Tak ayal, obligasi pemerintah AS pun menjadi kurang menarik dan dolar pun tertekan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jos Gandos! Rupiah 'Berotot' Lagi di Pekan Ini