
Rencana The Fed Bikin Rupiah Terkulai Lemas dalam Sepekan

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan ini memang bukan milik rupiah. Mata uang kebanggaan rakyat Indonesia ini mencatat pelemahan lima hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (18/6/2021). Total pelemahan sepanjang periode buruk ini sebesar 1,3%.
Sentimen negatif yang mempengaruhi pelemahan rupiah ialah terkait rencana kenaikan suku bunga oleh bank sentral AS, The Fed, pada 2023 mendatang, lebih cepat dari perkiraan pada Maret lalu.
Pada awal pekan ini, Senin (14/6), rupiah terpaksa berakhir melemah tanpa sempat mencicipi zona hijau. Melansir data dari Refinitiv, di akhir perdagangan rupiah melemah ke Rp 14.200/US$ atau melemah tipis 0,08% di pasar spot.
Pada Selasa (15/6) rupiah diprediksi bakal menguat seiring dirilisnya data neraca perdagangan yang sebelumnya diprediksi surplus. Namun, ternyata positifnya data neraca dagang RI tidak membuat rupiah menguat. Kala penutupan pasar, rupiah terdepresiasi 0,14%, sehingga dolar AS berada di Rp 14.220.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor sebesar US$ 16,6 miliar, melonjak 58,76% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya atau year-on-year/yoy. Ini menjadi pertumbuhan tertinggi sejak Januari 2010.
Sementara impor tumbuh lebih tinggi, mencapai 66,68% yoy. Namun karena nilainya lebih kecil dari ekspor, neraca perdagangan Indonesia masih bisa membukukan surplus US$ 2,37 miliar.
Setelah Selasa, ternyata rupiah terus terkulai lemas hingga perdagangan hari Jumat (18/6).
Rupiah mengakhiri perdagangan Jumat di Rp 14.370/US$, posisi penutupan terlemah sejak 6 Mei lalu. Bahkan, di awal perdagangan rupiah sempat nyaris mencapai Rp 14.400/US$.
Rupiah mengalami tekanan hebat sejak The Fed mengumumkan kebijakan moneter Kamis lalu. The Fed mengindikasikan suku bunga akan naik pada tahun 2023. Tidak hanya sekali tetapi dua kali kenaikan masing-masing 25 basis poin.
Hal tersebut terlihat dari Fed Dot Plot, dimana 13 dari 18 anggota melihat suku bunga akan dinaikkan pada tahun 2023. 11 diantaranya memproyeksikan dua kali kenaikan.
Proyeksi kenaikan suku bunga tersebut lebih cepat ketimbang perkiraan yang diberikan bulan Maret lalu, dimana mayoritas melihat suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2024.
Selain itu, dalam Fed Dot Plot terbaru, ada 7 anggota yang memproyeksikan suku bunga bisa naik pada tahun 2022.
Artinya, jika perekonomian AS semakin membaik, ada kemungkinan suku bunga akan naik tahun depan, jauh lebih cepat dari proyeksi sebelumnya.
Sementara itu kapantaperingatau pengurangan nilai pembelian aset (quantitative easing/QE) masih belum terjawab. Tapering dapat memicu taper tantrum, dan pernah terjadi pada tahun 2013. Saat itu, rupiah terpukul hebat.
The Fed dalam pengumuman kebijakan moneternya tidak menyebutkan mengenai masalah tapering, tetapi menyiratkan sudah mendiskusikan hal tersebut.
Tetapi, jika suku bunga akan dinaikkan lebih cepat dari sebelumnya, artinya tapering juga kemungkinan besar akan lebih cepat, terjadi di semester II tahun ini. Apalagi The Fed juga menaikkan proyeksi inflasi tahun ini menjadi 3,4% dari sebelumnya 2,4%.
"Jika The Fed menaikkan suku bunga sebanyak 2 kali di tahun 2023, mereka harus mulai melakukan tapering lebih cepat untuk mencapai target tersebut. Tapering dalam laju yang moderat kemungkinan akan memerlukan waktu selama 10 bulan, sehingga perlu dilakukan di tahun ini, dan jika perekonomian menjadi sedikit panas, maka suku bunga bisa dinaikkan lebih cepat lagi," kata Kathy Jones, Kepala Fixed Income di Charlers Schwab, sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (17/6/2021).
Sementara itu dari dalam negeri, lonjakan kasus penyakit virus corona (Covid-19) membuat rupiah semakin tertekan.
Satgas Penanganan Covid-19 mencatat per Kamis (17/6/2021) kasus harian Covid-19 di Indonesia menembus 12.624 kasus, lalu meningkat lagi pada Jumat (18/6/2021) kemarin, yakni hampir 13 ribu kasus atau 12.990 kasus harian, menjadi kenaikan tertinggi sejak 30 Januari lalu. Dengan demikian, total kasus Covid-19 di Indonesia secara kumulatif naik menjadi 1,963 juta orang.
Lonjakan kasus dalam beberapa pekan terakhir tentunya membuat pelaku pasar cemas Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang lebih ketat bisa kembali diterapkan.
Jika nantinya PPKM kembali diketatkan, maka pemulihan ekonomi terancam tersendat lagi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(adf/adf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jos Gandos! Rupiah 'Berotot' Lagi di Pekan Ini