
Asing Borong Saham Rp 1 T, Siapa Emiten Emas RI Paling Murah?

Jakarta, CNBC Indonesia - Perekonomian global akhir-akhir ini memang kurang bersahabat dengan harga emas. Optimisme para pelaku pasar yang disebabkan oleh rilis data perekonomian di berbagai negara serta kemajuan perkembangan vaksin Covid-19 membuat harga emas tertekan.
Merosotnya harga emas ini karena alat investasi ini dikenal sebagai instrumen lindung nilai alias safe haven. Jadi, apabila terjadi krisis ekonomi global baik dikarenakan tumbangnya institusi keuangan seperti pada 2008 silam, maupun krisis ekonomi yang diakibatkan pandemi virus Covid-19 seperti sekarang ini, maka harga emas akan melambung tinggi.
Hal sebaliknya akan terjadi pula, apabila kondisi perekonomian global sudah mulai membaik maka harga emas akan anjlok dengan sangat cepat.
Hal ini dikarenakan investor yang tadinya memegang emas untuk melindungi asetnya, memilih untuk menjual emasnya untuk memindahkan dananya ke aset-aset yang lebih beresiko seperti saham yang apabila perekonomian sudah kembali pulih maka akan menjadi aset yang paling diuntungkan.
Meskipun rilis data indikator yang mencerminkan kondisi ekonomi saat ini yang tergolong lambat seperti Produk Domestik Bruto (GDP) karena biasanya dirilis secara kuartalan, di berbagai negara masih tergolong kurang ciamik.
Akan tetapi rilis data indikator yang tergolong cepat dalam menggambarkan kondisi ekonomi saat ini seperti tingkat pengangguran yang terus turun, angka inflasi yang menunjukkan pemulihan daya beli, bahkan hingga perlambatan jumlah kasus positif corona per hari menyebabkan harga emas tertekan.
Catat saja selama sebulan terakhir harga emas di pasar spot sudah terkoreksi 2,49%, bahkan apabila melihat dari titik tertingginya di angka US$ 2.063.18/troy ons 6 Agustus silam, tercatat emas sudah anjlok sebesar 6,13% ke level saat ini di harga US$ 1.936,52/troy ons.
Akan tetapi meski harga emas terus merosot, baru-baru ini jagat pasar modal dunia di buat geger.
Pasalnya investor kawakan Warren Buffett melalui perusahaan investasi yang dikontrolnya Berkshire Hathaway dalam keterbukaan yang diterbitkan oleh badan pengawas Securities and Exchange Commission (SEC) alias OJK-nya AS per 30 Juni 2020, disebutkan bahwa Berkshire Hathaway melego saham bank JPMorgan Chase, Goldman Sachs, Wells Fargo, bahkan institusi keuangan lain seperti Visa, MasterCard, Bank of New York, dan PNC Financial.
Hasil penjualan saham-saham institusi keuangan tersebut ternyata dibelanjakan menjadi saham pertambangan emas Barrick Gold oleh Warren Buffet selama periode April sampai Juni 2020
Banyak yang kaget terhadap keputusan Warren Buffet, sebab Barrick Gold merupakan saham di sektor pertambangan emas yang pertama kali di beli oleh pria dengan julukan Peramal dari Omaha tersebut. Buffet sendiri terkenal sejak dahulu sangat tidak tertarik untuk berinvestasi emas.
Tidak hanya dari bursa saham Paman Sam, Kamis kemarin (8/28/20) dari data perdagangan tercatat investor asing menggunakan broker PT Citigroup Sekuritas Indonesia (CG) untuk memborong saham PT Merdeka Copper and Gold Tbk (MDKA) sebanyak 5,7 juta lot, dengan broker PT Indopremier Sekuritas (PD) sebagai penjual.
MDKA adalah emiten produsen emas milik Grup Saratoga yang dibangun oleh pengusaha Indonesia, Sandiaga Uno dan Edwin Soeryadjaja (anak dari pendiri Grup Astra, mendiang William Soeryadjaja).
Pembelian saham MDKA itu dilakukan di satu harga yakni Rp 1.620/unit dengan beli bersih sebesar Rp 876 miliar di pasar negosiasi.
Tercatat transaksi di pasar negosiasi atas saham MDKA yakni frekuensi sebanyak 11 kali pada sekitar pukul 9:10 WIB hingga 9:20 WIB dengan total nilai transaksi sebesar Rp 1,17 triliun dan volume transaksi sebesar 7,25 juta lot.
Hal ini tentunya membuat para pelaku pasar bertanya-tanya, apa benar saham-saham di sektor emas masih layak untuk investasi di tengah kondisi saat ini. Simak tabel berikut.
Terpantau terdapat beberapa emiten yang valuasinya masih tergolong murah seperti PT Hartadinata Abadi Tbk (HRTA) yang apabila dianalisis menggunakan metode perbandingan laba bersihnya dengan harga pasar yakni Price to Earnings Ratio (PER), maka PERnya berada di kisaran 6,88 kali.
Valuasi ini tergolong murah sebab biasanya rule of thumb valuasi suatu perusahaan bisa dikatakan murah apabila PER-nya berada di bawah 10 kali.
Bahkan apabila dianalisis lebih lanjut menggunakan metode valuasi perbandingan harga buku dengan harga pasar yakni Price to Book Value (PBV) maka PBV HRTA berada di kisaran 0,84 kali lagi-lagi tergolong murah karena masih berada di bawah 1 kali.
HRTA adalah emiten yang bergerak di bidang perdagangan emas atau logam mulia.
Selanjutnya emiten pertambangan emas yakni MDKA yang sudah disebut sebelumnya. MDKA juga baru saja masuk menjadi anggota Indeks LQ45 yakni indeks acuan bursa efek yang memiliki konstituen 45 perusahaan yang memiliki pertumbuhan yang mumpuni dan likuiditas saham yang besar.
MDKA memiliki valuasi PER sebesar 34,66 kali dan PBV 5,08 kali, tergolong mahal memang, akan tetapi daya tarik para investor terhadap emiten ini muncul dari kemampuan perusahaan dalam memanfaatkan ekuitas dan asetnya yang ditunjukkan dengan rasio Return on Equity (ROE) dan Return on Asset (ROA) yang menjadi tertinggi di antara emiten emas di BEI.
Catat saja, ROE MDKA berada di kisaran 14,67% dan ROA nya berada di kisaran 8,12% jauh lebih baik daripada emiten pertambangan emas pelat merah PT Aneka Tambang Tbk (ANTM).
Antam, yang meskipun tercatat memiliki PER sebesar 115,7 kali dan PBV sebesar 1,08 kali yang tergolong lebih murah dari MDKA, akan tetapi ROE-nya hanyalah sebesar 0,93% dan ROA-nya hanyalah sebesar 0,56%.
Terpantau semua emiten yang bergerak di sektor emas masih mampu membukukan laba bersih meskipun diserang pandemi corona, hanya PT J Resources Asia Pasifik Tbk (PSAB) yang masih mencatatkan rugi bersih US$ 3,27 juta.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(trp/trp)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Obral-obral, Deretan Saham LQ45 Ini Sudah Rebound Lagi Lho!
