75 Tahun Indonesia Merdeka

Miris! RI Masih "Dijajah" Asing di Bursa Saham Sendiri

Tri Putra, CNBC Indonesia
17 August 2020 12:49
Pengunjung melintas di depan layar pergerakan saham di Bursa Efek Indonesia, Kamis, 12 Maret 2020. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 5,01% ke 4.895,75. Perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) dihentikan sementara (trading halt) setelah  Harga tersebut ke 4.895,75 terjadi pada pukul 15.33 WIB.  (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: IHSG Bursa Efek Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia memang sudah merdeka selama 75 tahun, secara fisik negara asing tidak lagi menduduki Bumi Pertiwi. Tapi bagaimanakah di pasar modal? Apakah investor asing yang menjadi penguasa di pasar modal Indonesia dan menyebabkan investor lokal menjadi tamu di bursa sendiri walaupun sudah berdaulat tiga perempat abad ?

Well, secara umum nilai kepemilikan aset dalam bentuk saham scripless atau non warkat yang tercatat di Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), saat ini tidak lagi dikuasai investor asing. Sejak April lalu, komposisi kepemilikan investor domestik lebih besar dibandingkan investor asing.

Sebagai informasi, saham scripless merupakan saham yang pencatatannya sudah di konversi ke dalam bentuk elektronik digital. Sisanya, masih ada saham dalam bentuk warkat yang biasanya dipegang oleh pengendali perusahaan tercatat.

Berdasarkan data KSEI, per akhir Juli 2020 total nilai aset saham scripless mencapai Rp 3.111 triliun atau setara 51,9% dari total kapitalisasi pasar Bursa Efek Indonesia pada akhir Juli 2020. Di mana nilai kepemilikan investor lokal mencapai Rp 1.557 triliun atau 50,06% dari total nilai saham non warkat.

Tekanan jual asing yang tinggi semenjak pandemi virus corona menyebabkan kepemilikan investor lokal terus bertambah. Selama setahun terakhir, dana asing yang keluar sudah sebesar Rp 62 triliun di pasar regular saja.

Bahkan dapat dilihat presentasi kepemilikan lokal dari tahun ke tahun terus meningkat, sejak awal 2017 investor lokal hanya memegang 45% kepemilikan saham scripless, bahkan apabila ditarik sampai 13 tahun lalu rasio kepemilikan investor domestik hanyalah 31%.

Akan tetapi dominasi investor lokal di bursa saham nampaknya semu karena data KSEI tersebut mencatat semua saham yang melantai di BEI, termasuk saham-saham perusahaan menengah dan kecil yang memang tidak masuk dalam radar pembelian investor asing yang lebih tertarik dengan saham bluechip.

Berikut tabel porsi kepemilikan asing dan lokal pada 8 saham scripless dengan kapitalisasi pasar terbesar di LQ45, indeks dengan konstituen saham yang memiliki likuiditas perdagangan tinggi dan kinerja mumpuni.

Miris rasanya setelah melihat tabel di atas, dari 8 saham berkapitalisasi pasar terbesar di LQ45, hanya satu saja proporsi saham scripless yang dikuasi oleh investor lokal, bahkan kepemilikan asing di beberapa saham sangatlah timpang.

Adalah saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang memiliki ketimpangan lokal-asing paling tinggi. Tercatat kepemilikan investor lokal di saham non-warkat BBCA hanyalah sebesar 19,8%.

Tidak kalah timpang, di saham perbankan besar lain seperti PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dan Bank Mandiri Tbk (BMRI) kepemilikan investor lokal juga sangatlah timpang.

Tercatat investor domestik hanya memegang 22,5% saham scripless BBRI sedangkan untuk BMRI tidak kalah timpang, yakni 24,5%, tidak lebih dari seperempat.

Dominasi investor lokal di saham scripless hanya terjadi di saham PT H M Sampoerna Tbk (HMSP) yang dikuasai oleh investor lokal sebesar 70,6%. Akan tetapi perlu dicatat jumlah saham scripless yang beredar di HMSP sangatlah kecil mengingat publik hanya menguasai 7,5% dari total saham HMSP, sisanya dikuasai oleh Grup Philip Morris.

Bahkan apabila mengingat akhir jual asing yang 'gila-gilaan' selama setahun terakhir maka bisa dikatakan kondisi sebelum tahun 2020 akan menunjukkan dominasi asing di saham-saham ini lebih timpang.

Catatan asing sudah menjual bersih saham BBCA Rp 2,6 triliun di pasar reguler selama setahun terakhir, untuk BMRI di lego asing sebanyak Rp 2,1 triliun, sedangkan kondisi paling parah terjadi pada saham BBRI yang sudah dilepas asing sebanyak Rp 6,5 triliun selama setahun.

Sebenarnya aksi jual asing di bursa lokal sendiri seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi dengan dana asing yang keluar secara terus menerus dari BEI maka gerak naik IHSG cenderung akan tertekan.

Akan tetapi di sisi lain dengan keluarnya investor asing dari bursa lokal maka potensi investor domestik untuk menjadi 'tuan rumah' di bursa sendiri semakin terbuka apalagi apabila melihat valuasi emiten-emiten yang melantai di bursa efek masih tergolong murah dengan PER rata-rata IHSG sebesar 14,5 kali sehingga masih menarik bagi investor jangka panjang.

Momen yang tepat sudah datang, di tengah perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia ini investor asing nampaknya masih belum mau mengendurkan tekanan jualnya di bursa lokal. Pertanyaanya tinggal apakah investor lokal sudah siap menjadi tuan rumah di bursa sendiri dengan cara menampung barang jualan investor asing terlebih di harga yang cenderung murah.

 

TIM RISET CNBC INDONESIA


(trp/trp)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Obral-obral, Deretan Saham LQ45 Ini Sudah Rebound Lagi Lho!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular