RAPBN 2021: Rupiah di Rp 14.600/US$, BI Stop Pangkas Bunga?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
14 August 2020 17:42
mata uang rupiah dolar dollar Bank Mandiri
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan keterangan pemerintah atas RUU APBN 2021 beserta Nota Keuangannya di Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta, Jumat (14/8/2020). Pemerintah mengusung tema kebijakan fiskal tahun 2021, yaitu "Percepatan Pemulihan Ekonomi dan Penguatan Reformasi".

Dalam acara tersebut, Jokowi menyampaikan asumsi indikator ekonomi makro 2021, di mana pertumbuhan ekonomi diperkirakan jauh lebih baik ketimbang tahun ini, dengan inflasi yang stabil begitu juga dengan nilai tukar rupiah.

"Pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan mencapai 4,5%-5,5%. Tingkat pertumbuhan ekonomi ini diharapkan didukung oleh peningkatan konsumsi domestik dan investasi sebagai motor penggerak utama," kata Jokowi.

"Inflasi akan tetap terjaga pada tingkat 3%, untuk mendukung daya beli masyarakat. Rupiah diperkirakan bergerak pada kisaran Rp 14.600 per US$," ujarnya.

Proyeksi nilai tukar rupiah tersebut bisa dikatakan stabil jika melihat outlook 2020 yang berada di kisaran Rp 14.400-14.800/US$ dan rata-rata sepanjang tahun ini sekitar Rp 16.700/US$, begitu juga dengan outlook inflasi 2020 yakni 2-4%. Inflasi yang diramal terjaga begitu juga dengan nilai tukar rupiah tentunya dapat menjaga daya beli masyarakat yang menjadi tulang punggung perekonomian. 

Dalam keterangan tersebut, pemerintah terlihat optimis menatap perekonomian di tahun depan. Meski ada risiko resesi yang cukup tinggi Indonesia akan mengalami resesi di kuartal III-2020, tetapi beberapa indikator ekonomi sudah mulai menunjukkan perbaikan.

Sektor manufaktur Indonesia mulai menunjukkan perbaikan dalam 3 bulan terakhir. Pada bulan April lalu, aktivitas manufaktur yang dilihat dari purchasing managers' index (PMI) merosot hingga ke level 27,5. Level tersebut menjadi yang terendah sejak pencatatan dimulai pada April 2011.

PMI menggunakan angka 50 sebagai titik awal. Angka di bawah 50 berarti industri manufaktur masih terkontraksi, sementara di atasnya berarti ekspansi.

Setelah mencapai "dasar" tersebut, sektor manufaktur terus membaik. Di bulan Juli, PMI manufaktur Indonesia sebesar 46,9. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 39,1. Meski belum berekspansi, tetapi perbaikan yang ditunjukkan cukup menggembirakan.


"Output produksi, pemesanan, hingga penyerapan tenaga kerja mulai meningkat seiring relaksasi kebijakan penanggulangan virus corona. Dunia usaha juga optimistis terhadap prospek produksi ke depan," papar Bernard Aw, Principal Economist di IHS Markit, seperti dikutip dari siaran tertulis awal Agustus lalu.

"Data PMI terbaru menunjukkan bahwa perlambatan sektor manufaktur terus berkurang. Ada harapan dampak terburuk dari pandemi virus corona adalah pada kuartal II-2020 yang sudah berlalu."

Apabila kinerja industri manufaktur terus membaik, maka Indonesia sangat mungkin bisa menghindari resesi. Sebab industri manufaktur adalah kontributor utama dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi lapangan usaha. Kontribusi industri pengolahan terhadap PDB nyaris 20%. 

Kemudian keyakinan konsumen Indonesia perlahan juga mulai membaik, meski belum optimistis yang terlihat dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang masih di bawah 100.

"Survei Konsumen Bank Indonesia pada Juli 2020 mengindikasikan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi membaik, meskipun masih berada pada zona pesimis (<100). Hal tersebut tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) sebesar 86,2 pada Juli 2020, meningkat dari 83,8 pada bulan sebelumnya," sebut laporan BI, Kamis (6/8/2020).

Kala perekonomian Indonesia terus menunjukkan perbaikan, nilai tukar rupiah tentunya akan lebih stabil dan tidak menutup kemungkinan untuk menguat. Apalagi jika perekonomian global juga membaik, rupiah tentunya bisa semakin perkasa di tahun depan. Lihat saja bagaimana kinerja rupiah sebelum virus corona menyerang, menguat lebih dari 2% di bulan Januari, dan menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di dunia.

Merosotnya perekonomian akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19), membuat Bank Indonesia (BI) "turun tangan". Pada Kamis pertengahan Juli, BI memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4%.

"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 15-16 Juli 2020 memutuskan untuk menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 4%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Youtube Resmi Bank Indonesia, Kamis (16/7/2020).

"Keputusan ini juga mendukung pemulihan ekonomi nasional dengan tetap menjaga terkendalinya inflasi dan stabilitas nilai tukar," kata Perry.

Total di tahun ini, BI sudah memangkas suku bunga sebanyak 4 kali dengan total 100 bps. Tidak hanya memangkas suku bunga, BI juga memberikan banyak stimulus moneter, tujuannya, guna memacu perekonomian yang nyungsep.

Rendahnya inflasi di Indonesia memberikan ruang bagi BI untuk memangkas 7-Day Reverse Repo Rate.

Pada Senin (3/8/2020), Badan Pusat Statistik mengumumkan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Juli adalah -0,1% month-to-month (MtM) alias deflasi. Ini membuat inflasi tahun kalender (year-to-date/YtD) menjadi 0,98% dan inflasi tahunan (year-on-year/YoY) 1,54%.


Tetapi ruang tersebut sepertinya belum akan dimanfaatkan oleh BI. Selain melihat indikator perekonomian yang mulai membaik, jika suku bunga kembali dipangkas, imbal hasil (yield) obligasi tentunya akan semakin menurun. Indonesia bisa kehilangan daya tarik investasinya, aliran modal ke dalam negeri berisiko seret, pasokan valas berkurang pada akhirnya nilai tukar rupiah akan kembali terpukul.Dengan inflasi yang rendah tersebut, BI memiliki ruang untuk kembali memangkas suku bunga, sehingga perekonomian bisa lebih terpacu.

Tekanan bagi rupiah juga sudah terlihat satu bulan terakhir. Sejak BI memangkas suku bunga acuan pada pertengahan Juli lalu hingga hari ini rupiah sudah melemah 1,1%.

Gubernur Perry dalam konferensi pers sesuai menurunkan suku bunga, memberikan pernyataan yang berbeda ketika ditanya mengenai peluang suku bunga kembali di pangkas.

Dalam RDG sebelumnya Perry mengatakan masih memiliki ruang untuk memangkas suku bunga, tetapi pada bulan lalu ia menyebut tergantung dari data-data ekonomi.

"Bagaimana kebijakan suku bunga ke depan, akan kita lihat bagaimana pola pemulihan ekonomi dan dampaknya ke inflasi. Masa-masa pandemi Covid-19 kita harus sering cermati data terbaru untuk merespon suku bunga" kata Perry.

Selain itu, Perry menekankan dalam kondisi saat ini pemulihan ekonomi lebih efektif melalui jalur kuantitas, yaitu bagaimana dari aspek likuiditas dan pendaan, seperti quantitative easing yang sudah dilakukan BI.

Pernyataan tersebut memberikan gambaran BI mungkin tidak akan menurunkan suku bunga lagi.

Dengan asumsi makro pemerintah rupiah berada di kisaran Rp 14.600/US$ pada tahun depan, dan data-data ekonomi yang mulai menunjukkan perbaikan tentunya menjadi kabar menggembirakan bagi BI, sehingga suku bunga kemungkinan akan dipertahankan di level 4% di tahun depan.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah di Atas Rp 16.000, Jokowi Beri Pesan ke BI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular