
Pebisnis Pesimis, Kurs Dolar Australia tetap Saja Menguat

Jakarta, CNBC Indonesia -Â Nilai tukar dolar Australia menguat melawan rupiah pada perdagangan Selasa (11/8/2020) meski data menujukkan pebisnis di Negeri Kanguru kembali pesimis.
Pada pukul 13:23 WIB, AU$ 1 setara Rp 10.515,25, dolar Australia menguat 0,81% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Data yang dirilis National Australia Bank (NAB) hari ini menunjukkan indeks keyakinan bisnis -14 di bulan Juli, dari bulan sebelumnya sebesar 1. Angka indeks negatif berarti pada pebisnis pesimistis terhadap kondisi dunia usaha, sementara positif menunjukkan optimistis.
Di bulan Juni lalu, ketika angka indeks dirilis 1, merupakan kali pertama para pebisnis menunjukkan sikap optimistis dalam 7 bulan terakhir. Hal itu terjadi setelah Australia sukses meredam penyebaran virus corona.
Tetapi belakangan ini, kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19) di Australia kembali melonjak drastis, khususnya di Negara Bagian Victoria.
Pada Minggu Minggu (2/8/2020) lalu Negara Bagian Victoria yang mendeklarasikan "state of disaster" atau keadaan (Covid-19).
Dengan status keadaan bencana, Kota Melbourne sebagai episentrum penyebaran Covid-19 diterapkan pembatasan tahap 4, sementara wilayah lainnya tahap 3.
Dalam pembatasan sosial tahap 4, akan diterapkan jam malam, kegiatan berolah raga di luar rumah dibatasi hanya 1 jam, dan hanya sejauh 5 km. Untuk berbelanja, hanya diperbolehkan satu orang per rumah tangga, juga dengan jarak maksimal 5 km. Sekolah akan kembali dilakukan dari rumah mulai 5 Agustus mendatang, dan acara pernikahan dilarang.
Pembatasan tersebut, akan berlangsung hingga 13 September mendatang.
Dalam kondisi tersebut, kurs dolar Australia masih terus saja menguat melawan rupiah.
Kenaikan harga komoditas serta sikap bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) menjadi pemicu penguatan Mata Uang Kanguru.
Bijih besi merupakan komoditas ekspor utama Australia, berkontribusi sekitar 15% dari total ekspor. Kabar bagusnya, harga bijih besi mencapai level tertinggi 1 tahun US$ 118,89/ton pada pekan lalu.
Jika melihat ke belakangan, sejak bulan April hingga pekan lalu, bijih besi mencatat kenaikan lebih dari 45%. Pada periode yang sama, dolar Australia berada dalam tren menanjak.
Salah satu pemicu kenaikan harga bijih besi adalah impor dari China yang melonjak. Data dari bea cukai China yang dikutip Mining.com menunjukkan pada bulan Juni impor bijih besi melonjak 17% di bulan Juni dari bulan sebelumnya.
Sementara itu RBA yang tidak mempermasalahkan posisi nilai tukar dolar Australia juga membuat harganya makin melambung.
Pada 22 Juli lalu, nilai tukar dolar Australia melawan dolar AS berada di atas 0,7/US$ dan berada di dekat level tertinggi 6 bulan. Gubernur Lowe saat berbicara di hari itu mengatakan posisi nilai tukar dolar Australia sudah sesuai dengan fundamentalnya.
Dolar Australia menguat merespon pernyataan tersebut, saat ini berada di atas 0,71/US$.
Nilai tukar dolar Australia dikatakan sesuai dengan fundamentalnya, artinya RBA tidak mengharapkan dolar Australia akan melemah untuk membantu perekonomian.
Kala dolar Australia melemah, maka produk dari Negeri Kanguru akan lebih murah, sehingga ekspor berpotensi meningkat. Tetapi, sekali lagi RBA melihat nilai tukar dolar Australia saat ini sudah membantu pemulihan ekonomi, sehingga tak perlu lebih rendah lagi.
Ketika perekonomian Australia membaik, tentunya fundamental dolar Australia juga akan naik, dan nilainya juga berpeluang terkerek naik, termasuk melawan rupiah.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(pap/hps)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sri Mulyani Tak Mau Rupiah Terlalu Kuat, Ini Ramalan di 2021
