
Resesi Singapura Makin Dalam, tapi Dolarnya kok Menguat ya?

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Singapura menguat melawan rupiah pada perdagangan Selasa (11/6/2020), padahal kontraksi ekonomi Negeri Merlion dilaporkan semakin dalam.
Pada pukul 10.42 WIB, SG$ 1 setara Rp 10.656,81, dolar Singapura menguat 0,38% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Kementerian Perdagangan Singapura hari ini merevisi data produk domestik bruto (PDB) kuartal II-2020, saat Negeri Merlion sah mengalami resesi untuk pertama kalinya sejak 2008.
Dalam revisi tersebut, PDB Singapura dilaporkan mengalami kontraksi sebesar 42,9% quarter-to-quarter (QtQ) pada kuartal kedua II-2020. Lebih dalam dari rilis awal minus 41,2%.
"Secara tahunan/year-on-year (YoY), ekonomi menyusut 13,2% pada kuartal yang berakhir 30 Juni," ujar kementerian lag dikutip dari CNBC International. "Itu lebih buruk dari perkiraan sebelumnya yaitu kontraksi 12,6% dari tahun ke tahun."
Meski kontraksi ekonomi direvisi makin dalam, tetapi dolar Singapura tetap saja menguat melawan rupiah hari ini. Bahkan saat resmi mengalami resesi, juga masih tetap menguat.
Salah satu pemicu penguatan dolar Singapura AS adalah kebijakan ultra longgar bank sentral di dunia yang menyebabkan banjir likuiditas sehingga arus modal masuk ke Negeri Merlion.
"Sebagian dari likuiditas tersebut masuk ke Singapura, sebabnya yield obligasi pemerintah Singapura masih lebih tinggi ketimbang obligasi (Treasury) AS" kata Eugene Leow, ahli strategi suku bunga di DBS, sebagaimana dilansir Straits Times.
Berdasarkan data Refinitiv, yield obligasi Singapura tenor 10 tahun berada di level 0,863%, sementara yield Treasury AS tenor yang sama di 0,584%.
Yield Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia sebenarnya jauh lebih tinggi, 6,816%, tetapi karena Indonesia merupakan emerging market, tentunya dianggap lebih berisiko ketimbang Singapura.
Sementara itu dari dalam negeri, penjualan ritel masih mengalami kontraksi di bulan Juni, dan di bulan Juli pun diramal masih minus yang memberikan tekanan bagi rupiah.
Penjualan ritel yang dicerminkan oleh indeks Penjualan Riil (IPR) pada Juni terkontraksi 17,1% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY). Sedikit membaik dibandingkan pencapaian Mei yakni -20,6% YoY.
"Perbaikan penjualan terjadi pada hampir seluruh kelompok komoditas yang disurvei, terutama kelompok Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Makanan, Minuman dan Tembakau, serta Peralatan Informasi dan Komunikasi, sejalan dengan pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)," sebut keterangan tertulis Bank Indonesia (BI), Selasa (11/8/2020).
Sementara untuk Juli, BI memperkirakan penjualan ritel masih turun dengan perkiraan 12,3% YoY. Meski masih ada kontraksi, tetapi tren perbaikan tetap terjaga. Perbaikan kinerja penjualan eceran tersebut diprakirakan terjadi pada kelompok Makanan, Minuman dan Tembakau serta Perlengkapan Rumah Tangga Lainnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kurs Dolar Singapura Tembus Rp 11.500, Termahal dalam Sejarah
