
Sri Mulyani Tak Mau Rupiah Terlalu Kuat, Ini Ramalan di 2021

Jakarta, CNBC Indonesia - Masih tingginya ketidakpastian global mempengaruhi keseimbangan pasar keuangan global yang pada gilirannya akan mempengaruhi besarnya arus valas yang masuk ke dalam negeri. Hal ini jadi acuan untuk melihat rata-rata pergerakan rupiah vs dolar AS di 2020-2021.
Dalam beberapa tahun terakhir, terlihat jelas bagaimana dampak kebijakan moneter Amerika Serikat terhadap volatilitas arus modal di pasar global yang pada gilirannya mempengaruhi nilai tukar di banyak negara, termasuk Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pergerakan nilai tukar Rupiah masih akan menghadapi tekanan seperti masih perlambatan ekonomi di negara-negara besar, stance kebijakan suku bunga The Fed, sentimen perang dagang, isu geopolitik, proses pemulihan Tiongkok dari wabah virus corona, dan hasil pemilu AS.
"Dengan memperhatikan hal tersebut, nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat sepanjang tahun 2020 diproyeksikan berada dalam kisaran Rp14.500-15.500/US$," tegas Sri Mulyani dalam pidato tanggapan pemerintah atas kerangka makro APBN 2021.
Ia menyampaikan hal tersebut kepada DPR dalam teleconference yang disaksikan secara umum, Kamis (18/6/2020).
Iklim investasi yang lebih baik dan masih kuatnya ekonomi domestik akan menjadi faktor penarik arus modal asing ke dalam negeri. Hal tersebut akan menjadi faktor apresiasi nilai tukar di 2020.
Ia menambahkan, di sisi lain, masih terdapatnya potensi normalisasi kebijakan moneter negara-negara maju akan berdampak pada risiko membaliknya arus modal menuju negara maju. Hal-hal tersebut akan mempengaruhi likuiditas dalam negeri dan mendorong rupiah berada pada kisaran Rp14.900-Rp15.300/US$ di tahun 2021.
"Sementara itu, stabilitas nilai tukar juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi domestik yang masih menghadapi tantangan. Lemahnya permintaan dan ekonomi global serta kurangnya daya saing ekonomi dan produk domestik telah menyebabkan timbulnya tekanan terhadap neraca perdagangan dan memperbesar defisit neraca Transaksi Berjalan, seperti yang telah terjadi khususnya di tahun 2018," paparnya.
Tak Mau Rupiah Terlalu Kuat
Sri Mulyani menggarisbawahi, dalam kondisi saat ini, pihaknya juga tidak mau rupiah terlalu kuat. Indonesia masih butuh ekspor yang berdaya saing dengan nilai tukar yang terjaga.
"Namun perlu kita sadari bersama bahwa pada saat ini posisi nilai tukar yang terlalu kuat juga dapat memukul kinerja ekspor nasional dan berakibat buruk bagi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan."
"Nilai tukar rupiah yang terlalu kuat dapat melumpuhkan daya saing produk kita dan menyebabkan penurunan ekspor serta peningkatan impor produk yang menjadi lebih murah. Untuk itu, Pemerintah bersama Bank Indonesia, akan terus mengelola nilai tukar secara berhati-hati untuk tetap menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi ke depan," tegas Sri Mulyani.
Dalam hal ini, Sri Mulyani menegaskan yang menjadi fokus perhatian bersama adalah bukan pada tingkat nilai tukar tertentu, tetapi menjaga stabilitas pergerakan nilai tukar agar tidak menimbulkan gejolak pada aktivitas ekonomi dan sektor riil dalam negeri.
Dengan memperhatikan faktor-faktor dan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Pemerintah berkomitmen untuk menjaga pergerakan nilai tukar pada kisaran Rp14.900-15.300/US$.
"Kisaran nilai tukar tersebut kiranya dapat menjadi pertimbangan anggota dewan yang terhormat untuk didiskusikan bersama, sehingga pada nantinya dapat kita sepakati sebagai acuan dalam penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN tahun 2021."
(dru)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS