Rupiah Hari Ini: Awalnya Menjanjikan, Akhirnya Mengecewakan

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
10 August 2020 15:52
mata uang rupiah dolar dollar Bank Mandiri
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (10/8/2020), setelah pada pekan lalu mencatat pelemahan 0,34%.

Tanda-tanda kebangkitan ekonomi AS memberikan efek yang negate tapi juga positif, tetapi sayangnya hubungan AS-China yang memburuk membuat rupiah gagal mempertahankan momentum penguatan. Pelaku pasar juga menanti rilis data transaksi berjalan Indonesia.

Rupiah menunjukkan kinerja yang menjanjikan di awal perdagangan hari ini.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan hari ini dengan menguat 0,21% ke Rp 14.550/US$, tetapi tidak lama langsung berbalik melemah 0,27% ke Rp 14.620/US$.

Nyaris sepanjang perdagangan hari ini, rupiah berada di level tersebut, sebelum mulai bangkit di menit-menit akhir. Tetapi tetap saja rupiah gagal menguat, di penutupan perdagangan berada di level Rp 14.590/US$, melemah 0,07% di pasar spot. Awalnya menjanjikan, tetapi akhirnya mengecewakan.

Mata uang utama Asia bergerak bervariasi melawan dolar AS hari ini, untungnya rupiah bukan yang terburu. Hingga pukul 15:03 WIB, beberapa saat setelah pasar Indonesia ditutup, ringgit Malaysia menjadi mata uang terburuk dengan pelemahan 0,24%.

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Benua kuning.

Pergerakan mata uang Asia hari ini menunjukkan sentimen pelaku pasar tidak terlalu buruk, rupiah seharusnya mampu menguat. Tetapi pelaku pasar sepertinya masih menanti rilis data atau transaksi berjalan (current account) Indonesia kuartal II-2020 pekan ini.

Di kuartal I lalu, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) membaik. Defisit tercatat sebesar US$ 3,9 miliar setara dengan 1,4% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Ini adalah catatan terendah sejak 2017.

CAD di kuartal II kemungkinan akan kembali membaik mengingat pada bulan Mei dan Juni neraca dagang Indonesia mengalami surplus.

Transaksi berjalan adalah bagian dari Neraca Pembayaran (balance of payment) yang menggambarkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari pos ini dinilai lebih berdimensi jangka panjang ketimbang dari kamar sebelah, yaitu transaksi modal dan finansial.

Neraca Pembayaran secara keseluruhan akan menjadi dasar, fondasi, pijakan bagi kekuatan nilai tukar mata uang. Namun karena pos transaksi berjalan lebih berjangka panjang, maka pos ini kerap dipandang sebagai pemeran utama, penopang kekuatan suatu mata uang.

Tanda-tanda kebangkitan ekonomi AS terlihat dari rilis data tenaga kerja Jumat malam pekan lalu, sehingga baru direspon hari ini.

Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan tingkat pengangguran di bulan Juli turun tajam menjadi 10,2% dari sebelumnya 11,1%. Selain itu, sepanjang bulan lalu, perekonomian AS kembali menyerap tenaga kerja di luar sektor pertanian, yang dikenal dengan istilah non-farm payrolls, sebanyak 1,763 juta orang, lebih banyak ketimbang prediksi di Forex Factory sebesar 1,53 juta.

Data-data tersebut menunjukkan perekonomian AS mulai bangkit setelah nyungsep hingga mengalami resesi di kuartal II-2020 lalu.

Tidak hanya itu, rata-rata gaji per jam juga mengalami kenaikan 0,2% di bulan Juli setelah menurun dalam 2 bulan beruntun. Kembali naiknya rata-rata gaji berpeluang meningkatkan belanja konsumen atau belanja rumah tangga yang merupakan tulang punggung perekonomian AS. Belanja rumah tangga berkontribusi sekitar 70% terhadap produk domestic bruto (PDB) AS.

Rilis data tersebut membuat indeks dolar yang sebelumnya berada di level terendah 2 tahun bangkit, yang tentunya menjadi kabar buruk bagi rupiah.
Selain itu Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menandatangani empat perintah eksekutif pada Sabtu (8/8/2020) waktu setempat atau Minggu (9/8/2020) WIB. Salah satu dari empat perintah eksekutif itu berisi bantuan langsung kepada pengangguran senilai US$ 400 per pekan.

Bantuan senilai US$ 400 per pekan tersebut tentunya akan meningkatkan daya beli warga AS, yang lagi-lagi berpotensi memberikan dampak signifikan ke PDB.

Sehingga harapan akan kebangkitan ekonomi AS kembali muncul. Saat negara dengan nilai ekonomi terbesar di dunia ini bangkit negara-negara lainnya juga akan terkerek naik.

Bangkitnya perekonomian AS memang membuat indeks dolar ikut terungkit. Tetapi jika sentimen pelaku pasar membaik merespon sinyal kebangkitan ekonomi AS, rupiah justru juga diuntungkan. Kala sentimen membaik, maka aliran modal akan masuk lagi ke negara emerging market seperti Indonesia, rupiah mendapat rejeki.

Sayangnya sentimen pelaku pasar tak benar-benar membaik, sebabnya AS-China kembali panas. Penyebabnya undang-undang keamanan baru di Hong Kong.

Pemerintah AS memberlakukan sanksi bagi pejabat Hong Kong yang terlibat dalam penyusunan undang-undang yang dipandang represif tersebut. Salah satu pejabat yang terkena sanksi adalah Carrie Lam, Pemimpin Hong Kong. Sanksi yang dijatuhkan adalah pembekuan aset dan larangan bagi individu atau perusahaan AS untuk berurusan dengan mereka.

China tentu tidak terima. Beijing menilai langkah AS bak badut yang membuat lelucon.

"Niat AS untuk mendukung upaya anti-China terbukti telah menimbulkan kekacauan di Hong Kong. Kebijakan mereka yang seperti badut sangat konyol. Intimidasi dan ancaman tidak akan membuat rakyat China gentar," tegas keterangan resmi Kantor Penghubung China.

Memanasnya hubungan 2 raksasa ekonomi dunia ini merupakan kabar buruk bagi negara lainnya. Sebelum resesi terjadi di tahun ini, pada tahun lalu perekonomian global mengalami pelambatan signifikan akibat hubungan kedua negara yang memanas dan memicu perang dagang.

Sehingga sentimen pelaku pasar selalu memburuk ketika Washington-Beijing memanas, rupiah pun akhirnya tertekan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular