Jakarta, CNBC Indonesia - Cadangan devisa (cadev) Indonesia meroket pada Juli, hingga melampaui rekor tertinggi sepanjang masa yang dicapai lebih dari 1,5 tahun yang lalu. Setelah merosot tajam pada Maret, cadev Indonesia menanjak dalam 4 bulan beruntun. Salah satu pemicu meroketnya cadev pada bulan lalu adalah penerbitan global bond.
Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa Indonesia pada akhir Juli 2020 sebesar US$ 135,1 miliar. Melonjak tajam dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar US$ 131,7 miliar. Rekor tertinggi cadangan devisa sebelumnya adalah US$ 132 miliar yang terjadi pada Januari 2018.
"Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 9 bulan impor atau 8,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan," sebut keterangan tertulis BI, Jumat (7/8/2020).
Pada Maret lalu, cadangan devisa Indonesia tergerus US$ 9,4 miliar hingga posisi akhir Maret berada di US$ 121 miliar, yang merupakan level terendah sejak Mei 2019.
Saat itu, nilai tukar rupiah mengalami gejolak hebat, ambrol hingga ke Rp 16.620/US$, terlemah sejak krisis moneter 1998. Sehingga kebutuhan melakukan intervensi menstabilkan rupiah menjadi sangat besar, cadev pun akhirnya tergerus.
Selepas Maret, badai berlalu, rupiah mulai stabil bahkan malah menguat, sehingga kebutuhan intervensi menjadi minim, cadangan devisa jadi terus menanjak. Jika melihat posisi akhir Maret hingga Juli, cadev Indonesia mencatat kenaikan US$ 14,1 miliar.
Seperti disebutkan sebelumnya, selepas Maret nilai tukar rupiah mulai stabil dan cenderung menguat. Tetapi pada Juli, rupiah sebenarnya mengalami pelemahan sebesar 2,47%. Sehingga kebutuhan devisa untuk intervensi menstabilkan rupiah juga lumayan, yang tercermin dari peningkatan kepemilikan Surat Berharga Negara (SBN) oleh BI.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, pada akhir Juli kepemilikan SBN BI sebesar Rp 288,13 triliun, mengalami kenaikan dibandingkan posisi akhir Juni sebesar Rp 208,27 triliun. Intervensi tersebut tentunya mengurangi cadev Indonesia.
Penerbitan obligasi berdenominasi yen (Samurai Bond) pada awal Juli menjadi salah satu penambah cadev. Lewat penerbitan tersebut, pemerintah berhasil mengumpulkan dana sebesar 100 miliar yen atau sekitar Rp 13,41 triliun dengan kurs rupiah saat itu.
Dalam keterangan tertulis Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Jumat (3/7/2020), pemerintah menerbitkan lima seri Samurai Bond, tenor 3 tahun, 5 tahun, 7 tahun, 10 tahun, dan 20 tahun.
"Pagi ini, Pemerintah Indonesia berhasil menerbitkan JPY 100 miliar Samurai bonds yang menjadi penerbitan sovereign pertama di pasar Jepang untuk tahun 2020 dan penerbitan pertama dari penerbit Asia setelah masa pandemi. Transaksi ini merupakan momentum yang menumbuhkan kepercayaan pasar Jepang dan potensial untuk diikuti oleh penerbitan obligasi lainnya di pasar Jepang. Dana yang diterima Pemerintah dari penerbitan Samurai Bonds ini akan digunakan sebagai pembiayaan defisit APBN, termasuk untuk upaya penanggulangan dan pemulihan pandemi Covid-19," papar keterangan tertulis Kementerian Keuangan.
Pasar obligasi Indonesia sebenarnya masih cukup menarik bagi investor asing. Hal tersebut terlihat dari data DJPPR yang menunjukkan aliran modal asing masuk ke pasar obligasi dalam negeri di bulan Juli. Artinya aksi jual justru dilakukan oleh investor domestik. Per akhir Juli, kepemilikan asing di SBN mencapai Rp 945,79 triliun, naik dibandingkan posisi akhir Juni 937 triliun. Aliran modal di pasar obligasi tersebut tentunnya menambah pasokan valas di dalam negeri.
Pasokan valas sepertinya juga datang dari ekspor-impor, di mana sebelumnya neraca dagang Indonesia mencatat surplus 2 bulan beruntun.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada Juni 2020, neraca perdagangan Indonesia tercatat surplus US$ 1,27 miliar. Angka ini didapat dari nilai ekspor US$ 12,03 miliar Naik 2,28% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY). Sementara impor US$ 10,76 miliar turun 6,36% YoY.
Pada Mei, neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus US$ 2,09 miliar. Sehingga ada kemungkinan tren tersebut berlanjut di bulan Juli. Apalagi, harga komoditas andalan ekspor sedang menanjak.
Berdasarkan data dari Refinitiv, rata-rata harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) di bulan Juli 2.531 ringgit/ton, naik 6,73% ketimbang rata-rata bulan Juni.
Sementara harga batu bara, komoditas andalan ekspor lainnya juga mengalami kenaikan meski tipis. tipis. Rata-rata harga batu bara acuan Newcastle di bulan Juli sebesar US$ 53,93 per ton, turun tipis 0,08% dari rata-rata bulan Juni.
Tren surplus neraca dagang yang mungkin berlanjut, serta kenaikan rata-rata harga komoditas bisa jadi juga mendongkrak cadev hingga ke rekor tertinggi sepanjang masa.
TIM RISET CNBC INDONESIA