Merosot lagi, Saran "Buang dolar" Goldman Sachs Terbukti Jitu

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
05 August 2020 15:58
Goldman Sach
Foto: Adam Jeffrey/CNBC International

Jakarta, CNBC Indonesia - Di awal bulan Juni lalu, bank investasi ternama Goldman Sachs menyarankan untuk "membuang" dolar AS.

Sedang hangat-hangatnya isu new normal, atau tatanan kehidupan baru di tengah pandemi penyakit virus corona (Covid-19), roda perekonomian kembali berputar tetapi dengan protokol kesehatan yang ketat. 

Saran Goldman Sachs terbukti jitu, dolar AS terus merosot, indeks yang mengukur kekuatan mata uang Paman Sam ini berada di level terendah dalam 2 tahun terakhir. Hari ini indeks dolar kembali melemah 0,35% dan berada di level 93,059. Sepanjang Juni-Juli saja indeks dolar merosot lebih dari 5%.

Secara khusus, Goldman Sachs memilih melihat mata uang krona Norwegia (NOK) akan sangat unggul saat new normal. Sehingga Goldman memberikan saran jual (short) dolar AS dan beli (long) untuk krona Norwegia.

Dalam catatan yang dikutip CNBC International, analis Goldman Sachs melihat infrastruktur kesehatan Norwegia dan posisi fiskal yang bagus sebagai dasar saran tersebut.

Kondisi demografi dan infrastruktur medis domestik [Norwegia] menjadikan negara ini lebih siap menghadapi wabah ketimbang banyak negara lain. [Ditambah lagi] posisi fiskal yang kuat menempatkan [Norwegia] pada keuntungan yang berbeda," tulis analis Goldman, yang dipimpin oleh Co-Head pertukaran mata uang global Goldman, Zach Pandl dan Kamakshya Trivedi, dalam catatan, dilansir CNBC International, Selasa (2/6/2020).

"Saat [negara] lain terpaksa membatasi dukungan kebijakan fiskal atau secara dramatis menambah pinjaman - keduanya berpotensi memicu mata uangnya negatif - Norwegia mampu mengembalikan dana dari investasinya di luar negeri, membantu mendukung ekonomi dan mata uangnya [terapresiasi]," tulis Goldman.

Bagaimana kinerja krona?

Melansir data Refinitiv, krona Norwegia saat ini berada di level 9,0708/US$, sementara di awal Juni di 9,6023/US$, artinya mengalami penguatan 5,54%.

Krona diramal akan menguat lebih jauh, mengingat target penguatan yang diberikan Goldman Sachs berada di level 8,7500/US$, atau masih akan menguat sekitar 3,5% lagi dari level saat ini.

Amerika Serikat yang diramal tertinggal dalam pemulihan ekonomi yang mengalami resesi akibat pandemi Covid-19, menjadi penyebab buruknya kinerja dolar AS. 

Apalagi stimulus berupa bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi para korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebesar US$ 600/pekan sudah habis masa berlakunya pada akhir pekan lalu. Paket stimulus selanjutnya masih belum ada kejelasan.

Partai Republik di House of Representatives (salah satu dari dua kamar parlemen di AS) mengajukan proposal stimulus senilai US$ 1 triliun. Namun hingga saat ini belum ada kata sepakat. Bahkan terjadi penolakan di internal Republik sendiri, karena total stimulus yang mencapai US$ 3 triliun dinilai sudah terlalu banyak.

BLT bagi para korban PHK menjadi sangat penting, karena dapat meningkatkan konsumsi. Dan belanja rumah tangga merupakan tulang punggung perekonomian AS, yang berkontribusi sekitar 70% terhadap produk domestic bruto (PDB)

"Kegagalan mencapai kesepakatan paket stimulus telah menekan dolar AS. Jadi, jika mereka (Kongres AS) dalam beberapa hari ke depan, maka dolar AS akan rebound. Tapi, saya pikir dolar AS masih akan lemah di sisa tahun ini" kata Imre Speizer, analis mata uang di Westpac Auckland, sebagaimana dilansir CNBC International.

Merosotnya indeks dolar AS tersebut juga menjadi salah satu alasan rupiah masih cukup kuat hari ini, meski PDB di kuartal II-2020 dilaporkan -5,32% year-on-year (YoY), terburuk sejak tahun 1999 dan menjadi gerbang menuju gerbang resesi. Jika PDB kembali negatif di kuartal III-2020, maka Indonesia akan resmi memasuki resesi.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular