Industri Perbankan Masih Kuat di Tengah Pelambatan Ekonomi

Rahajeng Kusumo Hastuti, CNBC Indonesia
04 August 2020 20:06
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso (Tangkapan Layar Youtube Jasa Keuangan)
Foto: Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso (Tangkapan Layar Youtube Jasa Keuangan)

Jakarta, CNBC Indonesia- Di tengah pelambatan ekonomi serta ketidakpastian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan bahwa kondisi perbankan di Indonesia masih terjaga. Hal tersebut tercermin dari rasio kecukupan modal (CAR), rasio intermediasi (LDR), hingga rasio kredit bermasalah.

Hingga Juni 2020, CAR perbankan nasional masih kuat di level 22,59%, bahkan meningkat dibandingkan sebulan sebelumnya yang tercatat 22,14%. Sementara LDR semakin longgar di angka 88,64% pada Juni, turun dibandingkan sebulan sebelumnya yang tercatat 90,42%.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan regulator memberikan ruang bagi industri bank umum untuk memanfaatkan kesempatan dalam menjaga likuiditas. OJK sebelumnya sudah melakukan relaksasi batas atau threshold LCR dan NSFR jadi 85% tadinya di atas 100% dan menunda penerapan sementara Basel III sampai akhir 2022 yang seharusnya diterapkan di 2021.

"Jadi kita tunda penerapan ini sehingga ada ruang sektor perbankan bisa bergerak," ujar Wimboh dalam konferensi pers Perkembangan Kebijakan Kondisi Terkini Sektor Jasa Keuangan, Selasa (4/8/2020).

Rasio Kecukupan Likuiditas atau LCR adalah perbandingan antara High Quality Liquid Asset dengan total arus kas keluar bersih (net cash outflow) selama 30 hari ke depan dalam skenario stres.

OJK sebelumnya sudah menurunkan batas minimum pemenuhan LCR dan dan Net Stable Funding Ratio (NSFR) bagi bank BUKU III, BUKU IV serta bank asing menjadi 85%. Dalam keadaan normal, batas minimum LCR dan NSFR bagi seluruh bank yakni 100%.

Tak hanya itu, ketentuan kewajiban pemenuhan capital conservation buffer dalam komponen modal 2,5% dari aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) bagi bank BUKU III dan BUKU IV juga ditiadakan sampai 31 Maret 2021. Capital conservation buffer ini adalah salah satu komponen modal tambahan yang tercantum dalam Basel III.

"Dan BI juga lakukan pelonggaran di antaranya GWM [giro wajib minimum] yang drastis dan juga policy rate jadi 4% ini dalam sejarah belum pernah lebih rendah dari ini, posisi paling rendah yang pernah terjadi di Indonesia, luar biasa dan government spending ini memberikan amunisi likuiditas perbankan yang lebih besar," jelas Wimboh.

"Likuiditas alat likuid [liquid asset] per DPK tadinya Februari 2020 di posisi 23,89%, tapi di 22 Juli menjadi 27,59%. Alat likuid non core deposit tadinya di Februari 113% menjadi 130,02% di 22 Juli, ini menunjukkan kondisi likuiditas ini cukup stabil, suku bunga overnight rupiah dan valas turun jadi 3,73% dan 0,4% valas," katanya.

"Masih ada kesempatan, masih banyak likuiditas masuk ke pasar karena realisasi budget pemerintah yang khusus pandemi Covid ini pemerintah alokasikan Rp 690 triliun sampai akhir tahun ini, ini berikan likuiditas di sektor keuangan."

"Likuiditas ini lebih banyak pertumbuhan di bank besar BUKU 4 tumbuh 11%, ada produk andalan digital tabungan, produknya sudah menggunakan elektronik sehingga mudahkan customer lakukan transaksi jadi kompetisi penting dengan digital ini," kata Wimboh.

Dengan kondisi likuiditas tersebut, Wimboh berharap perbankan proaktif meningkatkan kredit, terutama yang sudah menerima penempatan dana pemerintah ke Himbara sebesar Rp 30 triliun, dan BPD Rp 11,5 triliun. Himbara diharapkan bisa menaikan 3 kali kapasitas kreditnya dan BPD dua kali kapasitas kreditnya, sehingga diharapkan ada efek multiplier.

Maklum, penyaluran kredit semakin melambat akibat pandemi Covid-19. Hingga Juni 2020, outstanding kredit tercatat Rp 5.549,24 triliun, hanya tumbuh 1,49% dibandingkan dengan setahun sebelumnya. Padahal, pada bulan sebelumnya kredit masih tumbuh 3,04% secara year on year.
Sementara pada Juni, Dana Pihak Ketiga (DPK) masih tumbuh 7,95% secara year on year.

Restrukturisasi Kredit

Untuk mengurangi dampak dari pandemi ini dilakukan restrukturisasi berdasarkan POJK 11 Tahun 2020. POJK ini akan berlaku hingga Februari tahun depan depan.

Hingga 20 Juli 2020 mencatat angka restrukturisasi kredit perbankan hingga 20 Juli 2020 telah mencapai Rp 784,36 triliun yang berasal dari 6,73 juta nasabah baik individu maupun korporasi yang melakukan restrukturisasi kredit sebagai dampak pandemi Covid-19.

Nilai ini terdiri dari restrukturisasi kredit UMKM mencapai Rp 330,27 triliun dari Rp 5,38 juta nasabah. Sedangkan untuk non-UMKM mencapai Rp 454,09 triliun yang terdiri dari 1,34 juta nasabah.

"Jadi dapat kami sampaikan total restrukturisasi ini mencapai 25%-30% [dari total outstanding kredit] meski kita perkirakan sebelumnya 40%," kata Wimboh.

Dia menjelaskan, proses restrukturisasi ini bisa dilakukan dengan macam-macam langkah bergantung pada kebijakan bank menyesuaikan dengan kondisi nasabahnya. Beberapa kebijakan restrukturisasi yang dilakukan dapat berupa penundaan pembayaran bunga, penundaan pembayaran pokok, haircut dengan periode 6 bulan hingga satu tahun.

"Ini tidak bisa distandarkan tergantung kondisi bank," imbuhnya.

Sementara itu, NPL perbankan secara keseluruhan masih terjaga di level 3,11% pada Juni 2020. Namun, tingkat NPL telah meningkat tajam dibandingkan dengan Desember 2019 yang tercatat 2,53%.

Menurut Wimboh kenaikan NPL ini terjadi kendati OJK telah memberikan stimulus dalam POJK 11. Kenaikan NPL ini disebut berasal dari nasabah yang memang sudah mengalami masalah sejak sebelum pandemi.

Nilai NPL yang meningkat ini paling besar disumbang oleh kredit modal kerja yang sebesar 3,69%, kemudian diikuti oleh NPL dari kredit investasi sebesar 2,58% dan NPL dari kredit konsumer sebesar 2,22%. Berdasarkan sektornya, NPL paling tinggi berasal dari sektor pertambangan yang hingga akhir semester I-2020 berada di angka 4,9%. Diikuti kemudian oleh sektor perdagangan yang sebesar 4,5% dan sektor pengolahan yang sebesar 4,5%.

"Perlu dicermati tren meningkatnya NPL sektor perdagangan besar, pengolahan, dan rumah tangga yang memiliki porsi 57% dari total kredit," kata dia.


(dob/dob)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tebar Banyak Stimulus, Begini Ramalan OJK soal Perbankan RI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular