Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) menguat tajam, 8,2% ke level 2.614 ringgit/ton di pekan ini. Level tersebut merupakan yang tertinggi dalam 5 bulan terakhir, atau tepatnya sejak 21 Februari lalu.
Jika melihat lebih ke belakang, minyak nabati ini menunjukkan rebound yang impresif. Pada 6 Mei lalu, CPO menyentuh level 1.946 ringgit/ton yang merupakan level terendah sejak Juli 2019. Jika dilihat sejak awal akhir 2019 hingga 6 Mei, CPO ambrol lebih dari 36%. Sejak saat itu hingga pekan ini, komoditas andalan ekspor Indonesia ini rebound lebih dari 34%.
Pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang melanda dunia menjadi penyebab ambrolnya harga CPO. Virus corona berasal dari China, salah satu konsumen terbesar CPO. Guna meredam penyebaran virus corona, Pemerintah Beijing menerapkan kebijakan karantina wilayah (lockdown) yang membuat roda bisnis menurun drastis bahkan mati suri di kota Wuhan provinis Hubei sejak akhir Januari. Sementara di wilayah lainnya diterapkan pembatasan social yang juga berdampak pada penurunan aktivitas ekonomi.
Tak lama, virus corona menyebar ke seluruh dunia. India, yang menduduki 2 teratas konsumen CPO bersama China juga menerapkan kebijakan lockdown pada akhir Maret. Alhasil aktivitas ekonominya juga nyaris terhenti.
Saat aktivitas ekonomi di 2 konsumen terbesar CPO menurun drastis, bisa ditebak tingkat permintaan juga merosot, harga CPO pun ambrol hingga awal Mei. Titik balik CPO berada di sini, semenjak menyentuh 1.946 ringgit/ton pada 6 Mei, CPO terus melesat naik hingga mencapai level 2.614 ringgit/ton Jumat (17/7/202) lalu. Pada periode tersebut, CPO melesat lebih dari 34%.
Sebabnya, harapan akan kebangkitan ekonomi setelah beberapa negara melonggarkan kebijakan lockdown, sehingga permintaan minyak nabati berpeluang meningkat lagi. Apalagi China yang sudah "menang" melawan virus corona menunjukkan kebangkitan ekonomi.
Pemerintah China hari ini melaporkan data produk domestic bruto (PDB) China periode April-Juni yang tumbuh 3,2% year-on-year (YoY). Pertumbuhan tersebut jauh lebih tinggi dari hasil polling Reuters menunjukkan PDB diperkirakan tumbuh 2,5% YoY.
Pertumbuhan tersebut tentunya menandai kebangkitan ekonomi China, setelah berkontraksi alias minus 6,8% YoY di kuartal I-2020, menjadi yang terburuk sepanjang sejarah. Saat salah satu konsumen terbesar itu bangkit, outlook permintaan CPO pun membaik.
Sebelum tahun ini, resesi yang paling segar diingatkan kita adalah tahun 2008, ketika terjadi krisis finansial global. Saat itu, Amerika Serikat menjadi episentrum krisis, yang diawali dengan kredit macet di sektor properti (subprime mortgage), dan menimbulkan efek domino yang menyebabkan kebangkrutan pada beberapa lembaga keuangan, seperti Lehman Brothers.
Amerika Serikat akhirnya mengalami resesi yang berlangsung selama 4 kuartal. Kontraksi ekonomi AS dimulai pada kuartal III-2008, dan baru berhasil tumbuh satu tahun berselang.
Saat itu, harga CPO mulai merosot sejak memasuki kuartal III-2008. Di akhir semester I-2008, CPO berada di level 3.598 ringgit/ton, kemudian ambrol 61% lebih, menjadi 1.390 ringgit/ton pada24 Oktober 2008. Level tersebut merupakan yang terendah sejak Agustus 2005.
Sejak mencapai level tersebut, CPO akhirnya rebound hingga lebih dari 93%, menyentuh level 2.684 ringgit per ton pada 14 Mei 2009.
Langkah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang membatat habis suku bunga acuang saat itu hingga menjadi < 0,25%, kemudian menerapkan kebijakan pembelian aset (quantitative easing/QE) menjadi pemicu penguatan harga komoditas dunia termasuk CPO. Kebijakan The Fed tersebut dilakukan guna memacu pertumbuhan ekonomi AS.
Bahkan ketika AS sudah keluar dari resesi, The Fed masih mempertahankan QE hingga tahun 2014. Harga CPO memang mengalami fluktuasi saat itu, tetapi jika dilihat tren jangka panjang terus menujukkan keniakan hingga mencapai 3.955 ringgit/ton pada Februari 2011. Level tersebut menjadi puncak penutupan perdagangan tertinggi kedua CPO sepanjang masa. Sementara harga paling puncak CPO berada di 4.330 ringgit/ton yang dicapai pada Maret 2008, saat perekonomian AS mulai goyang.
Kebijakan The Fed saat ini sama dengan tahun 2008, bahkan lebih agresif lagi. Suku bunga yang diterapkan sama sebesar <0,25%, tetapi QE yang dilakukan saat ini tanpa batas. Berapapun akan digelontorkan oleh The Fed selama diperlukan untuk memacu perekonomian, berbeda dengan periode 2008-2014 ketika nilai QE ditetapkan setiap bulannya.
Nilai QE The Fed bisa dilihat dari Balance sheet yang dimiliki. Semakin banyak jumlah aset yang dibeli, maka balance sheet The Fed akan semakin besar. Pada periode 2008-2014 nilai balance sheet The Fed mencapai US$ 4,5 triliun.
Sementara sejak pandemi Covid-19 melanda bumi, balance sheet The Fed sudah mencapai US$ 7,14 triliun, dan kemungkinan masih akan terus meningkat.
Melihat pola yang mirip dari pergerakan CPO tahun ini dengan tahun 2008, tidak menutup kemungkinan ke depannya harga CPO akan terus menanjak.
TIM RISET CNBC INDONESIA