Harga CPO Anjok Tajam Hingga 4,21%, Gara-gara 'Hantu' Resesi?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
28 June 2020 17:15
Panen tandan buah segar kelapa sawit di kebun Cimulang, Candali, Bogor, Jawa Barat. Kamis (13/9). Kebun Kelapa Sawit di Kawasan ini memiliki luas 1013 hektare dari Puluhan Blok perkebunan. Setiap harinya dari pagi hingga siang para pekerja panen tandan dari satu blok perkebunan. Siang hari Puluhan ton kelapa sawit ini diangkut dipabrik dikawasan Cimulang. Menurut data Kementeria Pertanian, secara nasional terdapat 14,03 juta hektare lahan sawit di Indonesia, dengan luasan sawit rakyat 5,61 juta hektare. Minyak kelapa sawit (CPO) masih menjadi komoditas ekspor terbesar Indonesia dengan volume ekspor 2017 sebesar 33,52 juta ton. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) melemah di pekan ini setelah mencapai level tertinggi dalam lebih dari 3 bulan terakhir. Risiko terjadinya resesi yang semakin dalam membuat outlook permintaan CPO memburuk, harganya pun kembali terpuruk.

Berdasarkan data Refinitiv, sepanjang pekan ini harga CPO ambrol 4,21% ke 2.368 ringgit per ton, di pasar spot. Pelemahan di pekan ini sekaligus menghentikan laju impresif CPO yang mencetak penguatan dalam enam pekan beruntun. Selama periode tersebut, minyak nabati ini mencatat penguatan 22,38%, hingga mencapai level tertinggi sejak 6 Maret.

Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) dalam rilis terbarunya yang berjudul A Crisis Like No Other, An Uncertain Recovery kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global.

"Pandemi Covid-19 memiliki dampak yang negatif pada paruh pertama 2020 daripada yang diperkirakan," tulis lembaga itu, dikutip CNBC Indonesia, Kamis (25/6/2020).

Di negara dengan tingkat penularan Covid-19 dengan tren menurun, pemulihan ekonomi masih akan lambat karena aturan social distancing yang diberlakukan, dan akan berpengaruh hingga semester II-2020.

Sementara di negara yang masih berjuang menghadapi pandemi, lockdown akan terjadi lebih lama, sehingga pemulihan ekonomi pun akan memerlukan waktu yang lebih lama.

Dalam rilis tersebut, IMF memprediksi perekonomian global di tahun ini akan berkontraksi atau minus 4,9% lebih dalam ketimbang proyeksi yang diberikan pada bulan April lalu minus 3%.

Nyaris semua negara, dari negara maju hingga negara berkembang diramal akan mengalami kontraksi ekonomi. Secara umum, perekonomian negara maju akan minus 8%.

Amerika Serikat (AS), negara dengan nilai ekonomi terbesar di dunia diprediksi mengalami kontraksi 8%, kemudian ekonomi zona euro -10,2%. Jepang, negara dengan nilai ekonomi terbesar ketiga di dunia diprediksi -5,8%.

Sementara itu, dari negara berkembang secara umum diramal minus 3%, tetapi perekonomian China diprediksi masih bisa tumbuh 1%.

Risiko resesi yang semakin besar tentunya membuat outlook permintaan CPO memburuk, apalagi salah satu konsumen terbesarnya, China, perekonomiannya diprediksi hanya tumbuh 1%. Konsumen terbesar lainnya, India, malah diprediksi mengalami kontraksi ekonomi sebesar 4,5%.

CPO juga mengalami tekanan dari ekspor minyak sawit Negeri Jiran pada periode 1-25 Juni yang diperkirakan naik antara 35,5% hingga 37,2% dibanding periode yang sama bulan Mei lalu menurut perusahaan surveyor kargo. Angka ini jauh lebih rendah dibanding periode 1-20 Juni yang kenaikannya mencapai 50% - 57%.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sempat Naik, Harga CPO Mulai Stagnan karena Eropa Lockdown

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular