China 'Buang Dolar'? AS: Aku Rapopo!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 July 2020 07:45
Ilustrasi Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Ilustrasi Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Hubungan Amerika Serikat (AS)-China yang menegang sejak perang dagang dan berlanjut gara-gara pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19), memanasnya situasi di Hong Kong, serta ketegangan di Laut China Selatan berbuntut panjang. Kedua negara saling 'berbalas pantun', melemparkan hukuman satu sama lain.

Sejak Presiden Donald Trump terpilih menjadi pemimpin Negeri Adikuasa, hubungan Washington-Beijing bak benci tapi rindu. Kadang mesra, tetapi lebih sering cekcok.

Awalnya adalah pengamatan Trump bahwa hubungan dagang AS-China berat sebelah. Sang presiden Negeri Paman Sam ke-45 menilai berdagang dengan China merugikan AS, karena barang impor asal Negeri Tirai Bambu mengalir deras dan mematikan industri dalam negeri.

imporProduk utama impor AS dari China pada 2019 (US Census Bureau)

Untuk mengendalikan impor China sekaligus memulangkan basis produksi ke AS, Trump mengenakan bea masuk kepada ribuan produk impor asal China. Tentu Beijing tidak terima dan membalas dengan kebijakan serupa. Terciptalah apa yang disebut perang dagang AS-China yang berlangsung sejak kira-kira awal 2018.

Kemudian muncul gelombang demonstrasi di Hong Kong yang menuntut pembatalan UU ekstradisi. Isu yang dibawa meluas menjadi keinginan memisahkan diri dari China. Demonstrasi berlangsung selama berbulan-bulan, dan disikapi dengan represif oleh China.

AS yang merasa sebagai polisi dunia mendesak China untuk mengedepankan demokrasi dalam penyelesaian masalah di Hong Kong. Beijing meradang dan menilai Washington terlalu jauh masuk ke urusan 'rumah tangga' negara lain.

Selepas itu datanglah pandemi virus corona. Kebetulan penyebaran virus ini bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China. AS (dan negara-negara lain) ingin agar China transparan dan bertanggung jawab atas pandemi yang membuat lumpuh perekonomian dunia tersebut.

Belum lagi ketegangan di Laut China Selatan, yang kerap menjadi lahan konflik di Asia. Klaim China berdasarkan Nine Dash Line terhadap hampir 90% wilayah Laut China Selatan menyenggol kedaulatan negara-negara lain, termasuk Indonesia.

Lagi-lagi AS masuk dalam pusaran konflik ini. Armada tempur AS bersiap siaga di Laut China Selatan, langkah yang membuat China gerah.

Hubungan AS-China yang menegang terjadi pula di bidang ekonomi. Pemerintahan Trump berpaya 'mengusir' perusahaan China yang melantai di bursa saham New York. Kita juga tahu bagaimana perlakuan AS terhadap Huawei, raksasa teknologi komunikasi asal China.

Dengan perkembangan tersebut, China kemudian berupaya untuk membangun kekuatan. Tidak hanya di bidang politik dan pertahanan, tetapi juga ekonomi. Salah satunya adalah dengan mencoba melepaskan ketergantungan terhadap mata uang dolar AS. China sedang gencar mempromosikan yuan sebagai mata uang internasional yang berposisi setara dengan greenback.

"Internasionalisasi yuan berubah dari sesuatu yang diinginkan menjadi hal yang sangat diperlukan bagi Beijing. China perlu mencari pengganti dolar di tengah ketidakpastian politik," kata Ding Shuang, kepala ekonom Standard Chartered untuk wilayah China dan Asia Utara, seperti diberitakan Bloomberg.

Salah satu bentuk aksi 'buang dolar' China dilakukan dengan melepas kepemilikan di obligasi pemerintah AS. Sudah cukup lama China menjadi investor terbesar di obligasi pemerintah AS, tetapi kini tidak lagi.

Pada April 2019, kepemilikan China di obligasi pemerintah AS tercatat US$ 1,11 triliun. Kala itu, China masih menjadi investor terbesar di pasar surat utang pemerintah AS.

Namun setahun kemudian, nilai kepemilikan China turun menjadi US$ 1,07 triliun. Artinya, dalam setahun kepemilikan China berkurang 3,61%.

Bahkan kepemilikan China terus dalam tren menurun sejak 2018. Setelah perang dagang meletus, sepertinya aksi 'buang dolar' memang sudah terjadi.

bondsKepemiikan asing di obligasi pemerintah AS (US Treasury)

Namun apakah AS menderita gara-gara hal itu?

Sepertinya tidak juga. Sebab saat China keluar, negara-negara lain justru berbondong-bondong memborong obligasi pemerintah AS.

Misalnya Jepang. Pada April 2019, kepemilikan Jepang di obligasi pemerintah AS adalah US$ 1,06 triliun. Setahun berikutnya naik menjadi US$ 1,27 triliun. Jepang kini menjadi investor terbesar di pasar obligasi pemerintah AS, menggeser China.

Inggris pun melakukan hal yang sama. Kepemilikan investor Negeri John Bull di obligasi pemerintah AS pada April 2019 adalah US$ 300,8 miliar. Pada April 2020, jumlahnya naik menjadi US$ 368,5 miliar.

"Mereka (China) bisa menjual kalau mau. Saya yakin dampaknya tidak akan terlalu besar. Kemudian, saya rasa itu (menjual obligasi pemerintah AS besar-besaran) hanya ancaman, bukan sesuatu yang akan dilakukan," tegas James Bullard, Presiden Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) cabang St Louis, seperti dikutip dari South China Morning Post.

AS seolah menyatakan silakan saja China menjual kepemilikannya di obligasi pemerintah. Dampaknya tidak akan terlalu besar karena ada negara lain yang menggantikan. Dalam bahasa Jawa, aku rapopo...

Lagipula, China juga rugi kalau terlalu banyak 'membuang' dolar AS. Pasokan dolar AS di pasar akan menjadi berlimpah sehingga nilai tukarnya melemah.

Kala dolar melemah, maka harga barang impor di pasar domestik AS menjadi mahal. Produk impor, termasuk yang made in China, menjadi kurang kompetitif sehingga sulit terjual.

So, serba salah juga kalau China mengedepankan 'buang dolar' dalam perebutan hegemoni dengan AS. Sebab bisa saja langkah itu menjadi blunder, merugikan China sendiri.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular