
'Situasi Sedang Krisis, OJK Tak Bisa Dibubarkan Begitu Saja'!

Jakarta, CNBC Indonesia - Rumor soal rencana beralihnya wewenang pengawasan perbankan kembali ke Bank Indonesia (BI) dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyeruak. OJK pun menegaskan hingga saat ini masih belum mendengar rencana pengalihan pengawasan perbankan kembali ke BI.
Deputi Komisioner Humas dan Logistik OJK Anto Prabowo mengatakan saat ini pihaknya masih berfokus untuk penanganan dampak Covid-19 di Indonesia.
Saat ini pihaknya bekerja sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK sehingga harus dijalankan sesuai dengan konsekuen sehingga apa yang diamanatkan oleh undang-undang akan tercapai.
"Belum ada yang sampai ke saya informasinya karena dari berita berita itu ketika saya tanya sumber dan saya baca semuanya ga menyampaikan sumber yang jelas, OJK fokus saja," kata Anto di Komplek Bank Indonesia, Kamis (2/7/2020).
"Kan saya ga boleh mengandai-andai, kan belum tahu. Intinya sekarang semuanya juga lembaga bekerja berdasarkan undang-undang, maka kita harus menjalankan dengan konsekuen sampai dengan tentunya apa yang dimaksudkan undang-undang tercapai," jelasnya.
Adapun kabar ini mencuat setelah Reuters, Kamis (2/7/2020) menuliskan hal tersebut. Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) soal OJK ini dikabarkan mengembalikan lagi tugas dan fungsi BI sebagai instansi penelitian, pengaturan, dan pengawasan perbankan yang pada 2013 lalu dipindahkan ke OJK.
"Presiden telah mempertimbangkan mengembalikan peran itu ke BI karena ketidakpuasan tentang kinerja OJK selama pandemi," kata dua orang sumber Reuters.
Sebagai informasi, pada 31 Desember 2013, OJK secara resmi mengawasi kinerja seluruh bank yang ada di Indonesia, mengambilalih tugas perbankan yang selama ini dilakukan BI. Ini sesuai dengan amanat UU Nomor 21 tahun 2011. Adapun pengaturan dan pengawasan bank dilakukan OJK.
Masih menurut sumber, nantinya BI akan kembali mengawasi bank. Hanya saja, keberadaan OJK tetap akan ada, yakni, OJK masih akan menjadi wasit atau regulator pasar modal dan industri keuangan non bank.
Bahkan nantinya OJK akan mendapatkan kewenangan baru dengan mengatur fintech yang bergerak di peer to peer lending secara keseluruhan.
Menanggapi ini, ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, menilai wacana ini akan sangat memperburuk keadaan di masa pandemi Covid-19. OJK dinilai tak bisa 'dibubarkan' begitu saja.
"Sementara kalau bicara ketatnya likuiditas bank dan perlambatan pertumbuhan kredit itu tidak bisa disalahkan ke OJK," kata Piter.
"Saya meyakini wacana ini akan memperburuk keadaan. Karena sekali lagi kita butuh konsentrasi dan kekompakan," jelas dia.
"Seharusnya saat ini yang harus diperhatikan adalah upaya mengatasi pandemi dan meminimalkan dampaknya terhadap perekonomian nasional," tegasnya lagi.
Stafsus Presiden Bidang Hukum Dhini Purnowo kepada CNBC Indonesia mengatakan sampai detik ini belum ada Perppu apapun yang disampaikan ke Sekretariat Negara pada saat ini.
Seorang sumber CNBC Indonesia ada yang mengonfirmasi kebenaran kabar tersebut. Namun untuk Perppu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
"Perppu LPS memang sudah disiapkan KSSK [Komite Stabilitas Sistem Keuangan]. Namun Perppu OJK sepertinya tidak," kata sumber tersebut.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tak menjawab konfirmasi dari CNBC Indonesia. Sementara Komisaris Utama BNI Agus Martowardojo, yang merupakan eks Gubernur BI mengaku belum mendengar kabar maupun rencana pemerintah yang tentang kembalinya pengawasan bank dari OJK ke BI.
Hal yang sama saat CNBC Indonesia mengonfirmasikan hal ini kepada Mirza Adityaswara, Eks Deputi Gubernur BI yang saat ini menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Keuangan.
Fokus OJK
Lebih lanjut Anto mengatakan OJK berharap seluruh pegawai tetap fokus dengan pelaksanaan UU dan berkonsentrasi untuk menjadi bagian penanganan Covid-19 yang dibutuhkan oleh masyarakat. Rumor tersebut dinilai dihembuskan dari pihak yang tidak jelas hingga saat ini.
Menurut Anto, OJK proaktif mendukung pemerintah, dan sesuai kewenangannya sebagai regulator telah mengeluarkan program restrukturisasi pada 26 Februari 2020 yang kemudian dituangkan dalam POJK 11/2020 pada 16 Maret 2020. Sebagai catatan pemerintah mengeluarkan Perppu 1/2020 pada 31 Maret 2020.
Restrukturisasi ini pula yang menjadi acuan dalam kemudian penjabaran Perppu 1/2020 melalui Penerbitan PP 23/2020 yang antara lain berupa Subsidi Bunga (PMK 65/2020) dan Penempatan untuk Kebutuhan Likuiditas (PMK 64/2020) dan selanjutnya untuk menggerakkan sektor riil melalui penempatan uang negara (PMK 70/2020).
"Ini merupakan insentif untuk nasabah dan perbankan. Ini kalau dihitung 3 bulan, nilai insentif kurang lebih Rp97 triliun. Dan ini peak-nya restrukturisasi ada di April dan Mei dan ini mulai melandai," ujarnya Kamis (2/7/2020).
Menurutnya, harapan OJK dan pemerintah, saat mulai melandai, ini saatnya menggerakkan sektor riil. Tapi tidak bisa melupakan kesehatan, karena tanpa bergeraknya sektor riil segala yang disiapkan pemerintah seperti penempatan uang negara dan subsidi bunga itu akan mengalami hambatan.
"Ini harus seiring sejalan bagaimana kita kembali mulai menjalankan sektor riil untuk menggerakkan sektor riil sangat bergantung bagaimana kita menangani Covid-19. OJK saat ini fokus pada upaya membantu Pemerintah dalam pemulihan ekonomi nasional sesuai kewenangan OJK dan tidak fokus pada hal lainnya," ujarnya.
