Saham Bank BUMN Penerima Rp 30 T Malah Rontok, Sinyal Apa?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
05 July 2020 18:45
Ketua Kadin Rosan Roeslani (CNBC Indonesia/Tito Bosnia)
Foto: Sunarso Direktur Utama BRI saat memberi keterangan PERS Rapat Koordinasi OJK Dengan HIMBARA Sebagai Tindak Lanjut PMK 70/2020

Penempatan dana Rp 30 triliun itu merupakan tahap pertama selama paling lama 6 bulan sesuai Pasal 7 No.70/PMK.05/2020. Bank mitra dilarang membebankan biaya pelayanan (termasuk biaya administrasi) serta memungut remunerasi yang diperoleh dari penempatan uang itu.

Namun sebagaimana dijelaskan di atas, pemerintah mengutip remunerasi berupa bunga dari dana tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 PMK tersebut. Besar bunganya tidak boleh kurang dari bunga yang diraih Kemenkeu ketika menempatkan dana di Bank Indonesia (BI).

qSumber: Kemenkeu

Dengan asumsi bahwa bunga yang diberikan adalah terdiskon 80% dari BI 7-Day Reverse Repo Rate, maka bank penerima dana tersebut (atau disebut Bank Peserta) mesti memberi bunga kepada Kemenkeu sebesar 3,8%.

Angka tersebut masih lebih rendah ketimbang rerata bunga deposito berjangka 6 bulan yang saat ini berkisar di level 5,4%. Namun jika diakumulasi, maka dana Rp 30 triliun akan berujung pada bunga sebesar Rp 1,24 triliun yang dibayarkan 6 bulan kemudian.

Pertanyaannya, bisakah keempat bank BUMN tersebut memutar dana Rp 30 triliun ke sektor riil dengan daya ungkit (leverage) 3 kali lipat, menjadi bernilai komersial Rp 90 triliun dalam Produk Domestik Bruto (PDB) seperti harapan Menkeu dan janji para bos bank BUMN?

Di tengah kondisi pandemi, hal tersebut bakal sangat menantang. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan sepanjang 2019 penyaluran kredit perbankan hanya tumbuh 6,08% menjadi Rp 5.600 triliun, dan tahun ini diperkirakan melambat, menjadi 4%.

Itupun masih dibayangi tantangan restrukturisasi kredit, yang menurut data OJK per 22 Juni 2020 telah mencapai Rp 695,34 triliun, terdiri dari kredit sektor UMKM sebesar Rp 307,8 triliun, dan non UMKM Rp 387,52 triliun.

Dari sisi pengusaha, nada ekspansi juga masih jauh panggang dari api. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Perkasa Roeslani justru memprediksi pengajuan restrukturisasi kredit perbankan bisa melonjak mencapai Rp 2.500-Rp 2.800 triliun akhir tahun ini jika stimulus tidak cepat diberikan ke dunia usaha.

Sebagai likuiditas, dana PEN membantu para bos bank BUMN jika mereka menghadapi kondisi likuiditas ketat. Namun sayangnya, kendala tersebut kini dihadapi oleh bank buku III dan bukannya bank buku IV. Tidak heran, saham BBTN sebagai bank buku III menguat sejak pengumuman dana PEN. Ada likuiditas tambahan bagi mereka.

Sementara itu, saham bank lain melemah karena mereka dibebani dengan liabilitas tambahan di tengah ekonomi yang menantang. Mereka dituntut memutar uang ketika pelaku usaha berkonsolidasi dan malah minta restrukturisasi, bukannya berekspansi.

Semestinya, Kemenkeu sejak awal memberikan pemahaman lugas kepada pasar bahwa dana itu memang ditujukan untuk membantu industri menghadapi tekanan pandemi. Sebagaimana digariskan dalam PP 23/2020, Bank Peserta membantu Bank Pelaksana (yakni bank umum yang melakukan restrukturisasi kredit) dengan memberi dana penyangga.

Ini tentu saja sebuah skema penyelamatan yang cukup ideal dan berdampak positif untuk industri. Namun, jangan sampai tujuan positif itu tertelan oleh kesan bahwa bank pelat merah sedang dituntut untuk "memancing lebih banyak ikan di tengah lautan badai".

TIM RISET CNBC INDONESIA

(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular