Sejak 2019 Cuan 34%, Harga Emas Diramal Masih Bisa Meroket

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
02 July 2020 16:35
Emas Batangan ditampilkan di Hatton Garden Metals, London pada 21 July 2015 (REUTERS/Neil Hall/File Photo)
Foto: Emas Batangan ditampilkan di Hatton Garden Metals, London pada 21 July 2015 (REUTERS/Neil Hall/File Photo)

Untuk menjawab sampai seberapa tinggi harga emas mampu melesat di kondisi seperti sekarang ini, maka dengan kembali melihat sejarah dapat memberikan banyak  informasi yang berguna. 

Meski histori tidak dapat digunakan sebagai landasan utama untuk melakukan forecasting, tetapi sejarah memberikan informasi dan pembelajaran dari setiap kejadiannya yang bisa membantu untuk menemukan pola. 

Sepanjang sejarah umat manusia, berbagai krisis ekonomi telah dilalui, mulai dari krisis keuangan akibat menggelembungnya harga aset (asset price buble) seperti yang terjadi pada 1636-1637 (Tulip Mania) dan di tahun 2000 (dot.com bubble), krisis akibat kredit yang ekspansif dan tak memperhatikan aspek makroprudensial seperti the great depression 1929 dan the great recession 2008. 

Dari berbagai krisis yang dilalui, harga emas cenderung melesat ketika diikuti dengan angka inflasi yang tinggi. Pada 1971 misalnya, saat itu kesepakatan Gold Standard hasil perjanjian Bretton Wood harus berakhir di tangan Presiden AS ke-36 Richard Nixon. 

Pada periode tersebut berbagai negara di dunia mengalami yang namanya stagflation, sebuah kondisi di mana pertumbuhan ekonomi melambat yang dibarengi dengan tingginya inflasi dan tingkat pengangguran. 

Contoh lain adalah saat krisis minyak pada 1973 yang memicu inflasi di AS melonjak hingga lebih dari 10%. Emas yang diyakini sebagai aset lindung nilai di tahun tersebut harganya terus mengalami kenaikan. Pada 1971 harga emas naik 16%, 1972 terangkat 49%, 1973 melesat hingga 72% dan pada 1974 harganya meroket hingga 66%. 

Artinya dalam empat tahun berturut-turut harga emas mencatatkan reli tak terbendung. Inflasi yang tinggi juga kembali terjadi di AS pada 1977 hingga 1980. Sehingga hal ini membuat harga emas naik lebih gila lagi.

Ketika angka inflasi inti di AS (PCE Core Inflation) terus merangkak naik menuju dobel digit harga emas meroket sampai 127% pada 1979. Namun mulai memasuki tahun 1990, inflasi cenderung menjadi lebih terkendali. 

Harga emas kembali mencatatkan reli ketika krisis keuangan global akibat subprime mortgage meletus pada 2008. Kala itu the Fed mulai mengenalkan kebijakan barunya yaitu QE. Saat itu juga AS menderita deflasi. Namun pada 2011 inflasi kembali naik dan harga emas melesat 30% pada 2010. 

Pada September 2011 harga emas menyentuh rekor tertingginya sepanjang masa hingga melampaui US$ 1.900/troy ons. 

Nature atau karakter dari krisis yang terjadi sekarang memang berbeda dengan krisis yang terjadi sebelum-sebelumnya. Dampak perekonomian dari pandemi Covid-19 diyakini jauh lebih besar dari krisis keuangan global 2008 silam. 

Kebijakan bank sentral juga menjadi ultra akomodatif. Namun risiko ketidakpastian yang meningkat terus menekan bank sentral global untuk semakin akomodatif. Kebijakan suku bunga rendah serta QE mungkin akan ditahan lebih lama. 

The Fed dalam proyeksinya memperkirakan kebijakan suku bunga mendekati nol persen kemungkinan ditahan sampai tahun 2022.

Tak hanya QE dengan nilai tak terbatas saja, dalam risalah pertemuan FOMC 9-10 Juni lalu, the Fed kini juga tengah mempertimbangkan kebijakan Yield Curve Control seperti yang dilakukan Jepang untuk menekan ongkos meminjam dalam durasi yang agak panjang melalui pengaturan imbal hasil obligasi pemerintah tenor tertentu.  

Kebijakan akomodatif dan juga stimulus ekonomi lainnnya yang masih mungkin digelontorkan membuat fundamental emas menjadi kokoh akibat potensi inflasi yang lebih tinggi. Sejarah reli harga emas bertahun-tahun bisa terjadi lagi. Harga emas berpeluang mencetak rekor terbarunya. 

(twg/twg)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular