Jakarta, CNBC Indonesia - Isu resesi global tahun lalu membuat harga emas meroket. Tahun ini resesi global adalah sebuah keniscayaan akibat merebaknya pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).
Minat terhadap aset safe haven seperti emas meningkat di kala kondisi perekonomian global sedang tak kondusif sehingga membuat harganya melambung.
Meski sudah naik 18% pada 2019, harga emas spot masih kuat untuk melesat 16% lebih di semester pertama tahun ini dan jadi aset yang memberikan imbal hasil yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan jenis aset lainnya seperti saham, obligasi hingga komoditas.
Pandemi Covid-19 telah memicu terjadinya fenomena flight to safety di kalangan investor. Lockdown secara global membuat lebih dari tiga miliar penduduk bumi terkurung di dalam rumah. Produksi turun, kebutuhan akan tenaga kerja terkontraksi, pendapatan berkurang dan daya beli melemah.
Saking parahnya dampak dari pandemi, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi global berada di angka -4,9% tahun ini. Investor buru-buru menyelamatkan diri dan mencari suaka. Emas menjadi salah satu aset yang diburu.
Selain risiko ketidakpastian yang tinggi seputar kapan wabah berakhir, beberapa faktor lain juga mendorong harga emas lebih tinggi. Isu seputar kerusuhan sosial akibat kesenjangan ekonomi, tensi geopolitik global yang meninggi dan praktik trade protectionism turut menjadi tema global tahun ini dan membuat investor kian melirik emas.
Menambah sentimen positif untuk harga emas adalah kebijakan bank sentral global yang ultra akomodatif. Melihat kepanikan yang terjadi di sektor finansial, bank sentral global seperti the Fed secara agresif memangkas suku bunga acuan.
Federal Fund Rates (FFR) dibabat habis mendekati nol persen oleh Jerome Powell dan sejawat yang tergabung dalam komite pengambil kebijakan the Fed (FOMC).
Tak berhenti di situ, the Fed juga secara agresif melakukan aksi pembelian aset-aset keuangan seperti obligasi pemerintah (treasury), efek beragun aset KPR (mortgage backed securities), exchange traded fund (ETF) obligasi korporasi hingga obligasi korporasi itu sendiri melalui metode indeksasi.
The Fed bahkan sampai mengulurkan bantuannya ke Mainstreet untuk membantu sektor UMKM AS bertahan dari gempuran pandemi melalui pinjaman lunaknya. Sudah triliunan dolar uang dipompa bank sentral AS itu ke perekonomian.
Program pelonggaran kuantitatif atau Quantitative Easing (QE) yang diterapkan membuat neraca bank sentral Negeri Adidaya itu mengembang dengan pesat.
Pendekataan QE juga dilakukan di Eropa oleh bank sentralnya ECB dengan nama Pandemic Emergency Purchase Program (PEPP). Melalui program tersebut ECB berupaya untuk menyelamatkan perekonomian zona Euro dengan memompa lebih dari 1 triliun euro ke perekonomian.
Pendekatan QE juga menjadi umum diterapkan oleh bank sentral di negara-negara berkembang. Termasuk di Indonesia, meski model yang diterapkan Bank Indonesia (BI) sedikit berbeda.
Dipompanya sejumlah uang ke perekonomian ketika output anjlok membawa ancaman nyata di masa depan yaitu inflasi yang tinggi. Namun untuk saat ini, anjloknya harga minyak turut memberi tekanan deflasi bagi perekonomian (deflationary effect) mengingat minyak digunakan sebagai input dari berbagai aktivitas perindustrian dan ekonomi.
Rendahnya suku bunga acuan turut mengerek imbal hasil obligasi menjadi lebih rendah. Jika memperhitungkan inflasi maka real rate saat ini sudah berada di teritori negatif. Hal ini jelas membuat opportunity cost memegang aset emas yang tak memberikan imbal hasil menjadi lebih rendah.
Faktor inilah yang membuat harga emas menjadi melambung tinggi lantaran diyakini sebagai aset lindung nilai (hedge) terhadap depresiasi mata uang. Namun pertanyaannya adalah, sampai seberapa tinggi harga emas akan naik?
Untuk menjawab sampai seberapa tinggi harga emas mampu melesat di kondisi seperti sekarang ini, maka dengan kembali melihat sejarah dapat memberikan banyak informasi yang berguna.
Meski histori tidak dapat digunakan sebagai landasan utama untuk melakukan forecasting, tetapi sejarah memberikan informasi dan pembelajaran dari setiap kejadiannya yang bisa membantu untuk menemukan pola.
Sepanjang sejarah umat manusia, berbagai krisis ekonomi telah dilalui, mulai dari krisis keuangan akibat menggelembungnya harga aset (asset price buble) seperti yang terjadi pada 1636-1637 (Tulip Mania) dan di tahun 2000 (dot.com bubble), krisis akibat kredit yang ekspansif dan tak memperhatikan aspek makroprudensial seperti the great depression 1929 dan the great recession 2008.
Dari berbagai krisis yang dilalui, harga emas cenderung melesat ketika diikuti dengan angka inflasi yang tinggi. Pada 1971 misalnya, saat itu kesepakatan Gold Standard hasil perjanjian Bretton Wood harus berakhir di tangan Presiden AS ke-36 Richard Nixon.
Pada periode tersebut berbagai negara di dunia mengalami yang namanya stagflation, sebuah kondisi di mana pertumbuhan ekonomi melambat yang dibarengi dengan tingginya inflasi dan tingkat pengangguran.
Contoh lain adalah saat krisis minyak pada 1973 yang memicu inflasi di AS melonjak hingga lebih dari 10%. Emas yang diyakini sebagai aset lindung nilai di tahun tersebut harganya terus mengalami kenaikan. Pada 1971 harga emas naik 16%, 1972 terangkat 49%, 1973 melesat hingga 72% dan pada 1974 harganya meroket hingga 66%.
Artinya dalam empat tahun berturut-turut harga emas mencatatkan reli tak terbendung. Inflasi yang tinggi juga kembali terjadi di AS pada 1977 hingga 1980. Sehingga hal ini membuat harga emas naik lebih gila lagi.
Ketika angka inflasi inti di AS (PCE Core Inflation) terus merangkak naik menuju dobel digit harga emas meroket sampai 127% pada 1979. Namun mulai memasuki tahun 1990, inflasi cenderung menjadi lebih terkendali.
Harga emas kembali mencatatkan reli ketika krisis keuangan global akibat subprime mortgage meletus pada 2008. Kala itu the Fed mulai mengenalkan kebijakan barunya yaitu QE. Saat itu juga AS menderita deflasi. Namun pada 2011 inflasi kembali naik dan harga emas melesat 30% pada 2010.
Pada September 2011 harga emas menyentuh rekor tertingginya sepanjang masa hingga melampaui US$ 1.900/troy ons.
Nature atau karakter dari krisis yang terjadi sekarang memang berbeda dengan krisis yang terjadi sebelum-sebelumnya. Dampak perekonomian dari pandemi Covid-19 diyakini jauh lebih besar dari krisis keuangan global 2008 silam.
Kebijakan bank sentral juga menjadi ultra akomodatif. Namun risiko ketidakpastian yang meningkat terus menekan bank sentral global untuk semakin akomodatif. Kebijakan suku bunga rendah serta QE mungkin akan ditahan lebih lama.
The Fed dalam proyeksinya memperkirakan kebijakan suku bunga mendekati nol persen kemungkinan ditahan sampai tahun 2022.
Tak hanya QE dengan nilai tak terbatas saja, dalam risalah pertemuan FOMC 9-10 Juni lalu, the Fed kini juga tengah mempertimbangkan kebijakan Yield Curve Control seperti yang dilakukan Jepang untuk menekan ongkos meminjam dalam durasi yang agak panjang melalui pengaturan imbal hasil obligasi pemerintah tenor tertentu.
Kebijakan akomodatif dan juga stimulus ekonomi lainnnya yang masih mungkin digelontorkan membuat fundamental emas menjadi kokoh akibat potensi inflasi yang lebih tinggi. Sejarah reli harga emas bertahun-tahun bisa terjadi lagi. Harga emas berpeluang mencetak rekor terbarunya.
Dua bank investasi global memandang prospek harga emas masih bullish. Pada 24 Maret lalu, Goldman Sachs memperkirakan harga emas berpotensi menyentuh level US$ 1.800/troy ons dalam 12 bulan ke depan (terhitung sejak Maret).
Saat itu harga emas sedang anjlok signifikan akibat pandemi Covid-19 memicu investor melepas semua asetnya dan beralih menimbun uang tunai dalam bentuk dolar. Sehari setelah harga aset-aset keuangan gugur dan menyentuh titik dasar (bottom) pada 23 Maret lalu, Goldman Sachs merekomendasikan investor untuk membeli emas.
Bank of America (BoA) bahkan lebih bullish memandang harga emas. Dalam sebuah laporan yang berjudul 'The Fed Can't Print Gold' BoA mematok target harga emas dalam 18 bulan mendatang bisa menyentuh US$ 3.000/troy ons.
Lebih lanjut BoA memperkirakan harga emas rata-rata di tahun ini berada di US$ 1.695/troy ons. Sementara untuk tahun depan harga emas diprediksi rata-ratanya berada di level US$ 2.063/troy ons.
Artinya prospek emas memang masih menarik. Oleh karena itu investor perlu untuk mencari momentum yang tepat agar bisa membeli harga emas lebih murah sehingga bisa meningkatkan potensi keuntungan yang diperoleh.
Tren beberapa waktu terakhir menunjukkan, ketika harga emas mencetak rekor terbaru maka akan ada aksi ambil untung yang membuat harga emas melorot. Melorotnya harga emas dimanfaatkan investor untuk melakukan aksi beli sehingga mendorong harganya naik lebih tinggi.
Untuk saat ini ancaman terbesar bagi emas adalah gelombang kedua wabah. Ketika gelombang kedua pandemi Covid-19 kembali menggulung dunia dan memicu diterapkannya kembali lockdown secara masif, ada kemungkinan pasar akan risk off dan fenomena flight to cash akan terjadi.
Sebenarnya kepanikan tersebut jika memang terjadi bisa juga dimanfaatkan oleh investor untuk masuk dan membeli emas. Investor harus benar-benar jeli melihat peluang kapan waktu yang tepat untuk membeli emas.
Emas sebagai aset yang juga berperan sebagai store of wealth memang menjadi aset yang menarik untuk mendiversifikasi portofolio investasi. Jadi jangan sampai kelewatan kesempatan untuk membeli emas ya.
TIM RISET CNBC INDONESIA