Semester I-2020: Bukan Rupiah, Peso Filipina jadi Juara Asia

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
01 July 2020 11:37
mata uang filipina Peso
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah mengalami volatilitas tinggi sepanjang semester I-2020. Sempat menjadi mata uang terbaik di dunia pada bulan Januari, rupiah justru ambrol di bulan Maret hingga menyentuh level terlemah sejak krisis moneter 1998.

Start rupiah di tahun 2020 terbilang impresif, pada 24 Januari rupiah berada di Rp 13.565/US$, menguat 2,29%. Level tersebut merupakan yang terkuat dalam 2 tahun terakhir, sekaligus menjadi posisi terbaiknya di tahun ini. Setelah itu, penguatan rupiah perlahan terpangkas, hingga akhirnya ambrol di bulan Maret.

Rupiah menyentuh level Rp 16.620/US$ pada 23 Maret yang merupakan level terlemah sejak 1998. Jika dilihat dari level terkuat tahun ini hingga ke posisi tersebut kurs rupiah tercatat melemah 22,52%.

Tetapi memasuki kuartal II, kinerja rupiah jauh membaik. Pada periode April hingga awal Juni, Mata Uang Garuda mampu menguat lebih dari 15%. Di akhir semester I-2020, tepatnya Selasa (30/6/2020) kemarin, rupiah berada di level Rp 14.180/US$. Sehingga dalam enam bulan pertama tahun ini, rupiah melemah 2,16%.

Dibandingkan mata uang utama Asia, rupiah berada di papan tengah klasemen hingga pertengahan tahun ini. Mayoritas mengalami pelemahan, hanya 4 mata uang yang berhasil menguat. Peso Filipina menjadi mata uang dengan kinerja terbaik setelah menguat 1,80%. Sementara mata uang terburuk disandang oleh rupee India yang melemah 5,87%.

Rupiah dengan pelemahan 2,16% berada diperingkat ke-enam.

Berikut kinerja mata uang Asia sepanjang semester I-2020.

Ada 2 faktor utama yang mempengaruhi pergerakan rupiah dan mata uang Asia pada umumnya sepanjang semester I-2020. Yang pertama kesepakatan dagang fase I antara Amerika Serikat dan China, kemudian yang kedua pandemi penyakit virus corona (Covid-19).

Kedua faktor tersebut sangat bertolak belakangan, kesepakatan dagang AS-China membuat perekonomian global diprediksi tumbuh lebih tinggi di tahun ini, sebaliknya Covid-19 malah membawa perekonomian ke jurang resesi.

Dampaknya bisa dilihat dari pergerakan rupiah yang menguat di bulan Januari, dan menjadi yang terbaik di dunia, sebelum akhirnya ambrol di bulan Maret.

Di awal tahun, kondisi pasar finansial global dipenuhi optimisme akan membaiknya pertumbuhan ekonomi setelah AS-China mencapai kesepakatan dagang fase I, sekaligus mengakhiri perang dagang yang sudah berlangsung sejak tahun 2018.

Investor pun mengalirkan modalnya ke negara emerging market yang memberikan imbal hasil tinggi. Indonesia menjadi salah satu yang mendapat capital inflow deras.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan sejak akhir 2019 hingga 24 Januari, ketika rupiah mencapai level terkuat 2 tahun, terjadi capital inflow di pasar obligasi sebesar Rp 30,16 triliun.

Melihat kinerja di bulan Januari tersebut, rupiah terlihat akan melaju mulus di tahun ini, bermodalkan harapan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.
Tetapi semua berubah ketika virus corona yang berasal dari kota Wuhan China "menyerang" berbagai negara dan dinyatakan sebagai pandemi pada 11 Maret. Pasar global mengalami kepanikan, aksi jual terjadi di semua aset, bahkan emas yang merupakan aset safe haven tak lepas dari aksi jual.

Saat itu muncul jargon "cash is the king", tetapi bukan sembarangan uang tunai, hanya dolar AS.

Kepanikan investor terlihat dari volatility index (VIX), yang naik hingga ke level 85,47 di bulan Maret, menjadi yang tertinggi sejak krisis finansial global tahun 2008. Padahal di bulan VIX masih berada di bawah level 20.

Sejalan dengan kenaikan VIX, sepanjang bulan Maret terjadi capital outflow sebesar Rp 121,26 triliun di pasar obligasi. Rupiah pun babak belur hingga menyentuh level terlemah sejak krisis moneter 1998.

Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.

Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar. Ketika terjadi capital outflow yang besar maka tekanan bagi rupiah akan semakin kuat.

Pandemi Covid-19 membuat negara-negara menerapkan kebijakan karantina (lockdown), yang membuat roda perekonomian melambat, bahkan nyaris terhenti, hingga menuju jurang resesi.

Di Indonesia sendiri tidak menerapkan lockdwon, tetapi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa wilayah. Efeknya sama saja, membuat roda perekonomian melambat, pertumbuhan ekonomi Indoneia nyungsep di kuartal I lalu, dan terancam minus di kuartal II.

Selepas bulan Maret, kepanikan global mulai mereda, volatility index mulai menurun. Hal ini terjadi setelah bank sentral dan pemerintah di berbagai negara (termasuk Indonesia) menggelontorkan stimulus moneter dan fiskal guna menanggulangi pandemi Covid-19 dan membangkitkan lagi perekonomian.

Beberapa negara, seperti China, Korea Selatan, kemudian Jerman dan lainnya juga sukses meredam penyebaran Covid-19.

Pelaku pasar menjadi lebih tenang, dan mulai mengalirkan kembali investasinya ke Indonesia, rupiah pun perlahan kembali menguat meski belum bisa mencapai lagi level terkuat tahun ini Rp 13.585/US$.

Memasuki semester II-2020, tantangan yang dihadapi rupiah cukup berat, berbagai institusi memprediksi resesi global akan semakin dalam. Apalagi kini muncul risiko serangan Covid-19 gelombang kedua.

Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) di bulan lalu kembali menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global.

Dalam rilis terbarunya yang berjudul A Crisis Like No Other, An Uncertain Recovery, IMF memprediksi perekonomian global di tahun ini akan berkontraksi atau minus 4,9% lebih dalam ketimbang proyeksi yang diberikan pada bulan April lalu minus 3%.

"Pandemi Covid-19 memiliki dampak yang negatif pada paruh pertama 2020 daripada yang diperkirakan," tulis lembaga itu, dikutip CNBC Indonesia, Kamis (25/6/2020).

Di negara dengan tingkat penularan Covid-19 dengan tren menurun, pemulihan ekonomi masih akan lambat karena aturan social distancing yang diberlakukan, dan akan berpengaruh hingga semester II-2020.

Sementara di negara yang masih berjuang menghadapi pandemi, lockdwon akan terjadi lebih lama, sehingga pemulihan ekonomi pun akan memerlukan waktu yang lebih lama.

Nyaris semua negara, dari negara maju hingga negara berkembang diramal akan mengalami kontraksi ekonomi. Secara umum, perekonomian negara maju akan minus 8%. Sementara itu, dari negara berkembang secara umum diramal minus 3%, tetapi perekonomian China diprediksi masih bisa tumbuh 1%.

Proyeksi dari IMF tersebut masih lebih baik dari Bank Dunia (World Bank). Dalam rilis Global Economic Prospects. Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini -5,2%, yang akan menjadi resesi tercuram dalam delapan dekade terakhir.

Tidak sampai disana, Bank Dunia memprediksi kontraksi ekonomi bisa lebih buruk lagi, mengingat tingginya ketidakpastian kapan pandemi Covid-19 dapat dihentikan.

Semakin lama virus corona "menyerang" maka membutuhkan waktu lama untuk memutar kembali roda perekonomian. Dengan kondisi seperti itu, Bank Dunia memprediksi perekonomian global akan -8% di 2020.

Kabar baiknya, di tahun depan perekonomian diprediksi akan tumbuh 4,2%, cukup tinggi karena low base effect di tahun ini. Bank Dunia juga memlihat perekonomian global tidak akan mencapai tingkat pertumbuhan seperti sebelum pandemi Covid-19 dalam waktu dekat.

Sama dengan Bank Dunia, Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organization for Economic Co-operation dan Development/OECD) juga memberikan 2 skenario pertumbuhan ekonomi tahun ini.

Skenario pertama jika pandemi Covid-19 gelombang kedua berhasil dihindari, maka perekonomian global diprediksi -6% di tahun ini. Prediksi OECD tersebut menjadi yang paling "seram" untuk tahun ini.

Sementara jika pandemi Covid-19 gelombang kedua sampai memicu lockdown lagi di beberapa negara, maka pertumbuhan ekonomi global tahun di ramal minus 7,6%.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular