
Semester I-2020: Bukan Rupiah, Peso Filipina jadi Juara Asia

Di awal tahun, kondisi pasar finansial global dipenuhi optimisme akan membaiknya pertumbuhan ekonomi setelah AS-China mencapai kesepakatan dagang fase I, sekaligus mengakhiri perang dagang yang sudah berlangsung sejak tahun 2018.
Investor pun mengalirkan modalnya ke negara emerging market yang memberikan imbal hasil tinggi. Indonesia menjadi salah satu yang mendapat capital inflow deras.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan sejak akhir 2019 hingga 24 Januari, ketika rupiah mencapai level terkuat 2 tahun, terjadi capital inflow di pasar obligasi sebesar Rp 30,16 triliun.
Melihat kinerja di bulan Januari tersebut, rupiah terlihat akan melaju mulus di tahun ini, bermodalkan harapan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.
Tetapi semua berubah ketika virus corona yang berasal dari kota Wuhan China "menyerang" berbagai negara dan dinyatakan sebagai pandemi pada 11 Maret. Pasar global mengalami kepanikan, aksi jual terjadi di semua aset, bahkan emas yang merupakan aset safe haven tak lepas dari aksi jual.
Saat itu muncul jargon "cash is the king", tetapi bukan sembarangan uang tunai, hanya dolar AS.
Kepanikan investor terlihat dari volatility index (VIX), yang naik hingga ke level 85,47 di bulan Maret, menjadi yang tertinggi sejak krisis finansial global tahun 2008. Padahal di bulan VIX masih berada di bawah level 20.
Sejalan dengan kenaikan VIX, sepanjang bulan Maret terjadi capital outflow sebesar Rp 121,26 triliun di pasar obligasi. Rupiah pun babak belur hingga menyentuh level terlemah sejak krisis moneter 1998.
Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.
Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar. Ketika terjadi capital outflow yang besar maka tekanan bagi rupiah akan semakin kuat.
Pandemi Covid-19 membuat negara-negara menerapkan kebijakan karantina (lockdown), yang membuat roda perekonomian melambat, bahkan nyaris terhenti, hingga menuju jurang resesi.
Di Indonesia sendiri tidak menerapkan lockdwon, tetapi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa wilayah. Efeknya sama saja, membuat roda perekonomian melambat, pertumbuhan ekonomi Indoneia nyungsep di kuartal I lalu, dan terancam minus di kuartal II.
Selepas bulan Maret, kepanikan global mulai mereda, volatility index mulai menurun. Hal ini terjadi setelah bank sentral dan pemerintah di berbagai negara (termasuk Indonesia) menggelontorkan stimulus moneter dan fiskal guna menanggulangi pandemi Covid-19 dan membangkitkan lagi perekonomian.
Beberapa negara, seperti China, Korea Selatan, kemudian Jerman dan lainnya juga sukses meredam penyebaran Covid-19.
Pelaku pasar menjadi lebih tenang, dan mulai mengalirkan kembali investasinya ke Indonesia, rupiah pun perlahan kembali menguat meski belum bisa mencapai lagi level terkuat tahun ini Rp 13.585/US$.
Memasuki semester II-2020, tantangan yang dihadapi rupiah cukup berat, berbagai institusi memprediksi resesi global akan semakin dalam. Apalagi kini muncul risiko serangan Covid-19 gelombang kedua.
(pap/pap)