Harga CPO Sulit Tembus RM 2.500, Karena Takut Resesi?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
23 June 2020 14:10
Pekerja mengangkut hasil panen kelapa Sawit di kebun Cimulang, Bogor, Jawa Barat, Jumat (15/3). Badan Pusat Statistik BPS  mengumumkan neraca Perdagangan (Ekspor-impor) Pada bulan Februari, nilai ekspor mencapai US$ 12,53 miliar, atau turun 11,33% dari tahun sebelumnya (YoY). Nilai ekspor minyak sawit sepanjang Januari-Februari 2019 hanya mencapai US$ 2,94 miliar, yang artinya turun 15,06% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2018.  (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Pekerja mengangkut hasil panen kelapa Sawit di kebun Cimulang, Bogor, Jawa Barat, Jumat (15/3). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak sawit mentah Negeri Jiran menguat siang hari ini. Ekspor bulan Juni yang meningkat drastis jadi sentimen positif yang mendorong penguatan harga.

Selasa (23/6/2020), harga CPO kontrak pengiriman September 2020 di Bursa Malaysia Derivatif menguat 0,61% ke RM 2.360/ton. Harga naik 15 ringgit dari posisi penutupan perdagangan kemarin. 

Penguatan harga CPO didasari oleh adanya peningkatan ekspor minyak sawit Negeri Jiran ke berbagai negara konsumennya. Survei yang dilakukan oleh Intertek Testing Service menunjukkan ekspor minyak sawit Malaysia pada 1-20 Juni naik 57% menjadi 1,21 juta ton dari bulan sebelumnya 772 ribu ton.

Ekspor CPO naik dari 133,6 ribu ton menjadi 273,2 ribu ton atau hampir naik dua kali lipatnya. Ekspor ke Eropa naik menjadi 369,5 ribu ton dari sebelumnya 199,2 ribu ton. Ekspor ke India naik dari 99 ribu ton menjadi 221,5 ribu ton.

Sementara ekspor ke China juga mengalami kenaikan yang signifikan di sepanjang bulan Juni dari sebelumnya 144,7 ribu ton menjadi 304,2 ribu ton atau naik lebih dari dua kali lipatnya.

Namun untuk sementara ini harga CPO masih belum bisa menembus level RM 2.500/ton. Ancaman gelombang kedua wabah kian nyata. Jumlah orang yang terinfeksi virus corona secara global mencapai angka lebih dari 9 juta orang.

Peningkatan kasus terbanyak dijumpai di Amerika Utara dan Amerika Latin. Negara-negara lain yang melaporkan jumlah kasus sudah turun seperti Australia, Jerman dan China juga kembali mengalami lonjakan kasus.

Kenaikan angka infeksi ini membuat pasar diliputi kecemasan kalau lockdown akan diterapkan lagi dan akan mempengaruhi permintaan yang baru saja mengalami perbaikan.

Di sisi lain risiko dari perseteruan antara Amerika Serikat (AS) dengan China juga menghantui pasar. 

Navaro yang berbicara dalam acara "The Story" di Fox mengatakan Presiden AS Donald Trump sudah memutuskan untuk mengakhiri kesepakatan dagang dengan China karena intelijen menyakini virus corona berasal dari laboratorium di kota Wuhan.

"Di sini titik baliknya. Mereka datang pada 15 Januari untuk menandatangani kesepakatan dagang, saat itu mereka sudah tahu ada virus tersebut selama 2 bulan" kata Navarro menjelaskan keputusan tersebut.

"Saat itu, ratusan bahkan ribuan orang China datang ke negara ini sehingga virus menyebar, dan hanya beberapa menit setelahnya kita mulai tahu pandemi ini," tambah Navarro.

Navarro bahkan membandingkan China dengan pemerintahan Jepang pada 1941 ketika berbicara dengan pemerintahan Presiden Franklin D. Roosevelt, sebelum akhirnya malah menyerang Pearl Harbor.

"Saya pikir semua orang di sini dan di sekitar negara ini sudah paham jika China berbohong dan warga Amerika meninggal," kata Navarro.

Meski demikian Navarro merevisi lagi pernyataannya, begitu juga Presiden Trump langsung menyatakan kesepakatan dagang dengan China masih tetap melalui akun Twitternya.

"Komentar saya diterjemahkan jauh diliuar konteks," kata Navarro menanggapi pernyataannya yang membuat sentimen pelaku pasar memburuk.

"Mereka tidak ada melakukan perubahan apapun pada kesepakatan dagang fase I, yang masih tetap seperti sebelumnya. Saya hanya mengatakan kurangnya kepercayaan yang kita miliki saat ini pada Partai Komunis China setelah mereka berbohong mengenai asal virus (corona) China dan menyebarkan pandemi ke seluruh dunia," tambahnya.

Bagaimanapun juga ketidakpastian seputar perkembangan pandemi corona dan tensi geopolitik masih menjadi isu utama yang disorot oleh pelaku pasar.

Paling mencolok tentu China, negara yang pernah memukau dunia dengan pertumbuhan ekonomi dua digit beberapa tahun lalu. Negara yang mampu bertahan dan mencatatkan pertumbuhan ekonomi tinggi saat dunia dilanda krisis keuangan global 2008-2009.

Kini China merana. Negeri Tirai Bambu adalah ground zero penyebaran virus corona, sehingga menjadi yang paling awal merasakan dampaknya.

Pada kuartal I-2020, ekonomi China terkontraksi -6.8%. Ini menjadi kontraksi terparah sejak 1992, saat kali pertama China mencatatkan data pertumbuhan ekonomi secara tahunan.

Pada kuartal II-2020, banyak pihak yang menilai China bakal bangkit dan kembali membukukan pertumbuhan ekonomi positif. Ini karena China menjadi negara paling awal pulih dari pandemi virus corona dan menerapkan kehidupan normal baru (new normal).

Namun ada pula yang tidak seoptimistis itu. Dalam laporan terbarunya, China Beige Book menyebutkan situasi di Negeri Panda tidak seindah yang dibayangkan.

China Beige Book membuat laporan berkala yang merangkum situasi ekonomi terkini berdasarkan hasil wawancara dengan dunia usaha. Laporan terbaru melibatkan 3.304 responden selama periode pertengahan Mei hingga akhir Juni. Hasilnya tidak terlalu menggembirakan.

Dunia usaha menilai keuntungan, belanja modal, dan penjualan ritel pada kuartal II-2020 hanya sedikit membaik dibandingkan kuartal sebelumnya. Meski suku bunga kredit perbankan sudah turun, tetapi belum merangsang dunia usaha untuk mengakses pembiayaan dan melakukan ekspansi.

"Perbaikan bukan berarti mencapai level yang sama seperti dulu. Sampai permintaan dunia pulih, hanya akan terjadi perbaikan kecil dari kuartal ke kuartal sehingga ekonomi China akan mengalami kontraksi untuk keseluruhan 2020," sebut laporan China Beige Book.

Sudah jelas bahwa China bukan tidak mungkin mengalami resesi tahun ini. Kalau China saja bisa resesi, maka nasib negara-negara lain juga bakal serupa. Termasuk Indonesia.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Hari Ini Turun 0,13%, Harga CPO Susah Naik

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular