Risiko Gelombang Kedua Corona Pudarkan Daya Tarik Dolar AS

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
22 June 2020 20:00
Warga melintas di depan toko penukaran uang di Kawasan Blok M, Jakarta, Jumat (20/7). di tempat penukaran uang ini dollar ditransaksikan di Rp 14.550. Rupiah melemah 0,31% dibandingkan penutupan perdagangan kemarin. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin melemah. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Perdagangan dolar Amerika Serikat (AS) lesu pada perdagangan Senin (22/6/2020) akibat risiko penyebaran pandemi penyakit virus corona (Covid-19) gelombang kedua (second wave). Tidak seperti biasanya, dolar AS yang menyandang status safe haven justru kali ini mengalami pelemahan.

Indeks dolar AS, yang mengukur kekuatan mata uang Paman Sam tersebut, melemah 0,23% ke 97,4 pada pukul 19:09 WIB. Indeks dolar dibentuk dari enam mata uang mitra dagang AS yakni euro, yen, poundsterling, dolar Kanada, krona Swedia, dan franc Swiss.

Terpantau di waktu yang sama, dolar AS melemah 0,31% melawan euro, 0,42% di hadapan poundsterling, dan 0,25% melawan franc Swiss. Melawan dolar Kanada dan krona Swedia, the greenback juga melemah 0,31% dan 0,63%, sementara melawan yen stagnan.

Gelombang kedua Covid-19 kini memang sedang mengintai. China, negara asal virus corona dan sebelumnya sudah sukses meredam penyebarannya kini kembali menghadapi peningkatan kasus.

Namun, episenter penyebaran Covid-19 kini berada di ibu kota Beijing. Setelah 50 hari tanpa transmisi lokal Covid-19 alias nol kasus, Beijing melaporkan kasus pertama pada Jumat (12/6/2020). Komisi Kesehatan Nasional China hari ini melaporkan 18 kasus Covid-19 baru, sembilan di antaranya di Beijing, sehingga total kasus di Beijing saat ini 236 orang. 

Dari Eropa, Jerman tingkat reproduksi (Rt) Covid-19 pada hari Minggu naik menjadi 2,88 dari sebelumnya 1,79. Artinya 1 orang yang terinfeksi Covid-19 dapat menularkan ke 2,88 orang, atau dari 100 orang dapat menularkan ke 288 orang. AS juga melaporkan rekor penambahan kasus per hari di beberapa negara bagian.

Minggu kemarin, AS melaporkan jumlah kasus baru pada Jumat dan Sabtu lebih dari 30.000 orang. Kenaikan tersebut menjadi yang terbesar sejak 1 Mei, berdasarkan data Johns Hopkins CSSE sebagaimana dilansir CNBC International.

Sebanyak 7 negara bagian dilaporkan mencatat rekor penambahan kasus Covid-19 yakni Florida, South Carolina, Missouri, Nevada, Montana, Utah, dan Arizona. Peningkatan kasus Covid-19 terjadi setelah lockdown dilonggarkan. Warganya kembali beraktivitas, tetapi banyak yang tidak mengikuti protokol kesehatan, sehingga kembali terjadi lonjakan kasus.

Jika jumlah kasus terus meningkat di seluruh AS, maka kebijakan penjarakan sosial (social distancing) akan kembali diterapkan, dan berisiko memukul lagi perekonomian AS. Lonjakan kasus tersebut akan membuat daya tarik dolar AS menurun, menurut analis Deutsche Bank Sameer Goel.

Mengutip CNBC International, Goel mengatakan pasar mata uang saat ini menghadapi "berbagai arus silang" di tengah kekhawatiran gelombang kedua Covid-19 di dunia. "Pertanyaan besar" bagi investor saat ini adalah apakah dolar AS masih akan menjadi aset safe haven saat muncul potensi gelombang kedua tersebut.

Goel menyatakan, potensi lonjakan kasus Covid-19 akan membuat dolar AS melemah melawan mata uang negara maju lainnya, bahkan kemungkinan juga melemah melawan yuan China. "Permintaan dolar AS dalam kondisi darurat tampaknya mulai berkurang" kata Goel sebagaimana dilansir CNBC International.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Investor Antisipasi Isi Pidato Powell, Dolar AS Masih Perkasa

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular