Saat Trader-trader Saham Bunuh Diri & Jadi Tumbal Wall Street

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
20 June 2020 16:25
Trader Gregory Rowe works on the floor of the New York Stock Exchange, Monday, Aug. 5, 2019. Stocks plunged on Wall Street Monday on worries about how much President Donald Trump's escalating trade war with China will damage the economy. (AP Photo/Richard Drew)
Foto: Wall Street (AP Photo/Richard Drew)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar mengejutkan datang dari Amerika Serikat (AS) khususnya terkait dengan pasar modal. Seorang trader berusia 20 tahun, Alex Kearns, dilaporkan bunuh setelah memiliki saldo negatif US$ 730.165.

Alex dilaporkan menempelkan sebuah pesan di pintu kamarnya untuk menyalakan laptopnya. Saat sang ayah, Daniel Kearns, menyalakan laptop, muncul, Sebuah surat empat paragraf muncul di layar. "Jika Anda membaca ini, maka saya sudah mati," catatan itu dimulai, seperti dikutip dari CNBC Internasional.

Itu kurang dari 24 jam setelah Alex memeriksa akunnya di aplikasi perdagangan yang sangat populer, Robinhood. Dalam catatannya, Alex berpikir memiliki saldo minus US$ 730.165 atau sebesar Rp 10,22 miliar (kurs Rp 14.000). Tetapi Alex mungkin telah salah memahami laporan keuangan tersebut bahwa dia memiliki utang sebesar tersebar, menurut seorang kerabat.

"Dia pikir dia terekspos, dia berpikir bahwa mengakhiri hidupnya akan melindungi keluarganya dari utang tersebut," ujar Bill Brewster, sepupunya dan seorang analis di Sullimar Capital, mengatakan kepada CNBC dalam sebuah wawancara telepon. "Dia naik sepeda dan tidak pernah pulang."

Tubuh Alex ditemukan pada hari Jumat, ujar Kepala Pemadam Kebakaran Plainfield Illinois, Jon Stratton. Alex, mahasiswa tingkat dua Jurusan Manajemen di Universitas Nebraska di Lincoln, sedang mempelajari manajemen dan memiliki minat yang semakin besar di pasar keuangan.

Dunia pasar modal memakan korban meninggal bukan merupakan hal yang baru. Pada tahun 2014 lalu, banyak banker Wall Street yang juga mengakhiri hidupnya. 

"Ini bukan sebuah tren (bunuh diri), tetapi tetap harus dilihat lebih dekat" kata seorang pegawai Wall Street yang mengetahui serangkaian bunuh diri tersebut, sebagaimana dilansir Business Insider 21 Februari 2014 lalu.

"Setiap individu memiliki masalah yang berbeda-beda. Anda tidak akan pernah tahu apa yang membuat orang tersebut mencapai suatu titik untuk mengakhiri hidupnya. Bisa jadi itu adalah pekerjaan mereka, kehidupan pribadi, dan ketika anda memiliki perusahaan besar, anda akan menghadapi lebih banyak orang dengan masalah berbeda" kata sumber tersebut.

Melihat jauh ke belakang, di tahun 1929 ada cerita yang lebih horor lagi. Para investor Wall Street dilaporkan terjun dari gedung pencakar langit akibat ambrolnya bursa saham AS. Hari itu, 24 Oktober 1929, dikenal dengan Black Thursday.

Saat itu, indeks Dow Jones langsung merosot 11% begitu perdagangan dibuka. Melansir Investopedia, Black Thursday menjadi awal dari aksi jual masif berhari-hari yang menimpa bursa saham AS, hingga akhirnya ambrol nyaris 90% dan belum mampu mencapai level pra-Black Thursday hingga 25 tahun kemudian.

Ambrolnya bursa saham AS tersebut diiringi dengan cerita banyaknya para investor yang bunuh diri dengan terjun dari gedung.

Tetapi, cerita horor tersebut dikatakan hanya sebuah legenda. Tidak ada bukti adanya tren kasus bunuh diri, khususnya terjun dari gedung saat Ambrolnya Wall Street di tahun 1929.

"Di Amerika Serikat, gelombang bunuh diri saat pasar saham runtuh merupakan bagian dari legenda 1992. Faktanya, hal tersebut tidak pernah ada," tulis ekonom Kenneth Galbraith dalam bukunya yang berjudul The Great Crash 1992, sebagaimana dilansir history.com

Galbraith melaporkan jumlah kasus bunuh diri di AS pada bulan Oktober dan November 1929 merupakan yang terendah dari bulan-bulan lainnya di tahun itu. Kasus bunuh diri di tahun 1929 malah terjadi pada musim panas sebelum pasar saham ambrol.

Tetapi, kabar palsu mengenai tren bunuh diri tersebut menyebar dengan cepat pada bulan November 1929.

Menurut sejarawan bisnis dan keuangan, John Steele Gordon, mitos investor yang terjun dari gedung tersebut datang dari seorang wartawan Inggris, yang juga terkena dampak dari ambrolnya pasar saham. Menurut Gordon, wartawan tersebut menyaksikan kecelakaan seorang pengunjung galeri, dan mengatakan mayat tersebut jatuh tak jauh dari dirinya. Wartawan tersebut adalah Wiston Churchill, yang kelak menjadi Perdana Menteri Inggris.

Melansir History, Churchill saat itu sedang berada di Savoy Plaza Hotel saat berkunjung ke New York City, dan menyaksikan kejadian tersebut. "Di bawah jendelaku, seorang pria melemparkan dirinya sendiri dari lantai 15 dan hancur berkeping-keping, menyebabkan keributan liar dan pemadam kebakaran berdatangan," kenang Churchill di Daily Telegraph London pada 9 Desember 1929.

Yang disaksikan oleh Churchill tersebut adalah tewasnya Dr. Otto Matthies, ahli kimia Jerman yang jatuh dari lantai 16. Melansir History, kejadian tersebut terjadi pada 24 Oktober pagi, sehingga tidak bisa dikaitkan dengan ambrolnya pasar saham AS. 


Meski investor bunuh saat Black Thursday merupakan mitos, tetapi faktanya setidaknya ada 2 orang yang meninggal terjun dari gedung beberapa pekan setelahnya. Hulda Borowski dilaporkan terjun dari gedung Equitable Building pada 7 November. Bosnya saat itu mengatakan Borowski kelelahan karena terlalu banyak pekerjaan. 9 Hari kemudian, George Cutler, kepala perusahaan grosir, yang listing di New York Merchantile Exchange, yang mengalami kerugian besar di pasar, terjun dari lantai 7 kantor pengacaranya, dan jatuh di atas mobil yang parkir di Wall Street.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/gus)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 5 BUMN China Hengkang Dari Wall Street

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular