Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (19/6/2020). Risiko penyebaran pandemi penyakit virus corona (Covid-19) gelombang kedua yang memicu aksi ambil untung membuat rupiah berada di zona merah.
Rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.010/US$, tetapi tidak lama langsung masuk ke zona merah.
Tidak sekalipun rupiah mencicipi zona hijau pada hari ini, justru sempat mengalami spike (melemah tajam dalam waktu singkat, sebelum kembali ke posisi awal) 1,32% ke Rp 14.195/US$ sebelum mengakhiri perdagangan di level Rp 14.050/US$, melemah 0,29% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Dengan pelemahan tersebut rupiah pada hari ini menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia. Mayoritas mata uang utama Asia menguat melawan dolar AS hari ini, selain rupiah hanya dolar Singapura yang mencatat pelemahan tipis 0,04%.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Benua Kuning hingga pukul 15:17 WIB.
Melihat pergerakan mata uang Asia tersebut, rupiah seharusnya juga punya peluang untuk menguat, tetapi aksi ambil untung (profit taking) membuat rupiah melemah pada hari ini.
Aksi profit taking terjadi setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam pidato tanggapan pemerintah atas kerangka makro APBN 2021 kemarin, menyampaikan pihaknya juga tidak mau rupiah terlalu kuat. Indonesia masih butuh ekspor yang berdaya saing dengan nilai tukar yang terjaga.
"Namun perlu kita sadari bersama bahwa pada saat ini posisi nilai tukar yang terlalu kuat juga dapat memukul kinerja ekspor nasional dan berakibat buruk bagi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan."
"Nilai tukar rupiah yang terlalu kuat dapat melumpuhkan daya saing produk kita dan menyebabkan penurunan ekspor serta peningkatan impor produk yang menjadi lebih murah. Untuk itu, Pemerintah bersama Bank Indonesia, akan terus mengelola nilai tukar secara berhati-hati untuk tetap menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi ke depan," tegas Sri Mulyani.
Dalam hal ini, Sri Mulyani menegaskan yang menjadi fokus perhatian bersama adalah bukan pada tingkat nilai tukar tertentu, tetapi menjaga stabilitas pergerakan nilai tukar agar tidak menimbulkan gejolak pada aktivitas ekonomi dan sektor riil dalam negeri.
Nilai tukar rupiah sepanjang 2020 diproyeksikan berada di Rp 14.500 - 15.500/US$.
Pernyataan Sri Mulyani tersebut tentunya memberikan efek psikologis di pasar, yang membuat rupiah akhirnya diterpa aksi ambil untung, setelah menguat lebih dari 14% sejak awal April.
Risiko terjadinya penyebaran pandemi Covid-19 gelombang kedua di China membuat pelaku pasar lebih berhati-hati.
Setelah 50 hari tanpa transmisi lokal Covid-19 alias nol kasus, Beijing akhirnya melaporkan kasus pertama pada Jumat pekan lalu. Sejak saat itu hingga Rabu (17/6/2020) lalu, jumlah kasus Covid-19 di Beijing mencapai 158 orang.
Kluster Covid-19 di Beijing berada di pasar Xinfadi, yang merupakan pasar tradisional terbesar di Beijing. Sehingga risiko semakin banyak orang yang terjangkit cukup tinggi. Pasar Xinfadi tersebut juga jauh lebih besar dari pasar di kota Wuhan yang menjadi awal munculnya virus corona hingga menjadi pandemi.
"Risiko penyebaran virus corona sangat besar dan sulit untuk mengontrolnya. Kita tidak bisa mengabaikan akan adanya penambahan kasus dalam beberapa waktu ke depan," kata Pang Xinghuo, pejabat senior pengendali penyakit, sebagaimana dilansir Reuters.
Otoritas terkait sudah meliburkan semua sekolah Beijing. Bar, restoran dan klub malam juga untuk sementara tidak diizinkan beroperasi. Selain itu, penerbangan pesawat komersial juga dibatasi. Taxi, car-hailing hingga bus rute jarak jauh juga dilarang beroperasi mulai Selasa lalu.
Dalam sistem tanggap darurat virus corona, Beijing kini kembali berada di level 2, satu strip di bawah level tertinggi. Sebanyak 32 wilayah di Beijing ditetapkan memiliki risiko medium terjangkit Covid-19. Warga yang berada di wilayah dengan risiko medium hingga tinggi dilarang pergi meninggalkan Beijing.
Meski demikian, Beijing masih belum dikarantina (lockdown) hanya ada pembatasan kegiatan masyarakatnya. Tetapi jika jumlah kasus terus meningkat, bukan tidak mungkin lockdown kembali diterapkan, yang tentunya akan memukul kembali perekonomian global yang sedang berusaha bangkit.
Akibatnya, pelaku pasar pun berhati-hati mengalirkan modalnya ke negara emerging market yang memberikan imbal hasil tinggi, tetapi lebih berisiko.
Tidak hanya China, Negeri Paman Sam juga mengalami hal yang sama semenjak lockdown dilonggarkan serta demo besar yang terjadi di seluruh negara bagian AS.
Sebanyak 5 negara bagian, yakni Arizona, Florida, California, South Carolina, dan Texas Kamis kemarin melaporkan rekor penambahan kasus Covid-19 per harinya. Arizona mencatat 2.519 kasus baru, melewati rekor sebelumnya 2.392 yang dilaporkan pada Selasa pekan ini. Kemudian Florida mencatat rekor kasus per hari 3.207, California 4.084 kasus, South Carolina 978 kasus, dan Texas 3.516 kasus.
Mantan komisioner Badan Makan dan Obat-obatan AS, Dr. Scott Gottlieb, mengatakan peningkatan kasus yang terjadi belakangan ini menjadi indikasi beberapa negara bagian "kehilangan kendali" penyebaran Covid-19.
"Ini adalah wabah. Kita melihat jumlah kasus 2 kali lipat dalam kurang dari 10 hari terakhir. Penyebaran yang menjadi lepas kendali. Saya rasa negara-negara bagian ini masih memiliki waktu satu sampai dua pekan untuk bertindak dan mencoba untuk kembali mengendalikan penyebarannya" kata Gottlieb dalam "Squawk Box" CNBC International.
Ia juga khawatir akan kurangnya "langkah politik" dari pemerintah untuk melanjutkan penerapan social distancing dan penggunaan masker.
"Saya lebih khawatir saat ini ketimbang tiga pekan lalu. Kita akan terjebak dengan penyebaran yang lebih besar, kecuali jika kita bisa mengambil langkah yang tepat, langkah pembatasan yang bisa kita lakukan," tambahnya.
Gelombang kedua Covid-19 di China, jika terus meningkat, adalah kabar buruk bagi perekonomian global. Apalagi jika AS mengalami hal yang sama, maka wajar jika pelaku pasar wait and see, dan aksi ambil untung rupiah pun terjadi.
TIM RISET CNBC INDONESIA