
Rupiah Lesu, Kurs Euro Cicipi Lagi Level Rp 16.000/US$

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar euro menguat melawan rupiah yang sedang lesu pada perdagangan Jumat (12/6/2020), hingga menyentuh level Rp 16.000/EUR lagi. Sentimen pelaku pasar yang sedang memburuk membuat rupiah terpuruk pada hari ini.
Mata uang 19 negara ini sempat melesat 1,6% ke Rp 16.010,73/EUR, sebelum terpangkas dan berada di Rp 15.891,96/EUR atau menguat 0,86%, di pasar spot, melansir data Refinitiv. Euro pada pekan lalu turun ke bawah Rp 16.000/EUR untuk pertama kalinya sejak 9 Maret. Namun hanya sepekan berselang, euro kembali menyentuh level tersebut.
Memburuknya sentimen pelaku pasar terjadi akibat lonjakan kasus pandemi penyakit virus corona (Covid-19) di AS, dan outlook pemulihan ekonomi yang kurang bagus. Ini terlihat dari bursa AS (Wall Street) yang ambrol pada Kamis. Indeks Dow Jones ambles nyaris 7%, sementara S&P 500 dan Nasdaq masing-masing lebih dari 5%.
Penyebabnya, lonjakan kasus Covid-19 yang terjadi di AS. Kasus corona baru di AS meningkat menjadi 20,2486 kasus per hari dari sebelumnya 17,376. Secara total, jumlah pengidap virus corona mencapai 2 juta orang di AS dengan 116.000 korban jiwa.
Negara bagian Texas mencatatkan rekor tertinggi pasien Covid-19 dalam tiga hari terakhir. Sembilan wilayah di California juga melaporkan kenaikan kasus corona.
Selain itu, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang memberikan outlook perekonomian kurang cerah juga memperburuk sentimen pelaku pasar. The Fed mempertahankan suku bunga acuan 0-0,25%, dan tidak akan dinaikkan dalam hingga 2022. Ekonomi AS diprediksi terkontraksi 6,5% di tahun ini, dengan tingkat pengangguran sebesar 9,3%.
Suku bunga yang berada di rekor terendah, dan tidak akan dinaikkan dalam beberapa tahun ke depan menjadi indikasi perekonomian AS kemungkinan tidak akan mengalami pemulihan yang cepat.
Saat sentimen pelaku pasar memburuk, maka aliran modal akan keluar lagi dari Indonesia. Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.
Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar. Ketika terjadi capital outflow besar maka tekanan bagi rupiah akan semakin kuat.
Pekan lalu, derasnya aliran modal ke dalam negeri menjadi penopang penguatan rupiah. Tidak heran, lelang obligasi atau Surat Berharga Negara (SBN) Selasa (2/6/2020 menerima penawaran Rp 105,27 triliun. Ada 7 seri SBN yang dilelang kemarin, dengan target indikatif pemerintah sebesar US$ 20 triliun, artinya terjadi oversubscription 5,2 kali.
Pemerintah menyerap Rp 24,3 triliun dari seluruh penawaran yang masuk, di atas target indikatif, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan.
Tingginya daya tarik SBN juga terlihat di pasar sekunder. Berdasarkan data DJPPR, sepanjang pekan lalu, ada inflow sebesar 9,61 triliun. Inflow tersebut terbilang besar, melebihi inflow sepanjang Mei Rp 7,07 triliun.
Di pasar saham, juga terjadi inflow yang cukup besar. Berdasarkan data RTI, sepanjang pekan lalu investor asing melakukan aksi beli bersih (net buy) sebesar Rp 3,45 triliun di all market.
Sementara hal sebaliknya terjadi di pekan ini, dalam tiga hari pertama di pasar obligasi terjadi outflow sebesar 2,34 triliun, sementara di pasar saham dalam sepekan terjadi aksi jual Rp 858,66 miliar di all market. Dampaknya, rupiah menjadi lesu dan euro berhasil mencicipi lagi level Rp 16.000/US$.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jadi Korban Keganasan Dolar AS, Euro Anjlok 2% Lebih
