Alamak! Gegara AS, IHSG Terjun Bebas 2,44%

Tri Putra, CNBC Indonesia
12 June 2020 09:21
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia, Jumat 28/2/2020 (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia, Jumat 28/2/2020 (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada sesi pertama perdagangan akhir pekan (12/6/20) dibuka di zona merah anjlok 2,78% ke level 4.719,40, selang 5 menit IHSG masih drop 2,44% ke level 4.736,06.

Data perdagangan mencatat, investor asing kembali mencatatkan aksi jual bersih sebanyak Rp 52 miliar di pasar reguler hari ini dengan nilai transaksi hari ini menyentuh Rp 1,06 triliun.

Saham yang paling banyak dilepas asing hari ini adalah PT Telekomunikasi Indonesia (TLKM) dengan jual bersih sebesar Rp 37 miliar dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dengan net sell sebesar 31,8 miliar.

Seiring dengan IHSG, mayoritas bursa Asia hari ini terpantau jatuh, Hang Seng Index di Bursa Hong Kong turun sebesar 1,20%, Nikkei di Jepang terdepresiasi sebesar 1,59%, sedangkan STI Singapore juga terkoreksi 2,16%.

Asal muasal amblesnya seluruh bursa di kawasan Benua Kuning karena dari bursa saham acuan global di Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis tadi malam (11/6/20) atau tadi pagi waktu Indonesia, ditutup anjlok tajam. Penurunan lebih dari 5% terjadi di 3 indeks besar Wall Street

Indeks Dow Jones anjlok tajam 6,90% atau turun 1.861 poin ke level 25.128,17. Selanjutnya S&P 500 yang juga ikut terdepresiasi 5,89% atau amblas 188 poin ke level 3.002,10, sementara Nasdaq terkoreksi tajam sebesar 5,27% atau turun 527,61 poin ke level 9.492,73

Keprihatinan akan gelombang kedua penyebaran virus corona muncul setelah beberapa negara bagian AS membuka kembali ekonomi.

Sebagai dilaporkan AP, Texas mencatatkan rekor tertinggi pasien Covid-19 dalam tiga hari terakhir. Sembilan wilayah di California juga melaporkan kenaikan kasus corona dan juga jumlah pasien yang terkonfirmasi terkena virus berbahaya tersebut.

Dalam laporan riset yang dikutip CNBC International, analis makroekonomi EvercoreISI Dennis DeBusschere menilai kebijakan moneter ramah dari Federal Reserve tidak bisa mengimbangi dampak buruk gelombang kedua Covid-19.

"Dengan peningkatan kasus dan pasien baru di Texas, Arizona, dan California, investor prihatin bahwa aksi demonstrasi baru-baru ini akan menyulut gelombang infeksi, yang mengancam ekonomi yang masih rendah dan pertumbuhan laba bersih," tuturnya.

Kasus corona baru di AS meningkat menjadi 20,2486 kasus per hari dari sebelumnya 17,376. Secara total, jumlah pengidap virus corona mencapai 2 juta orang di AS dengan 116.000 korban jiwa.

Dengan naiknya kasus harian ini, para pelaku pasar memikirkan ulang apakah benar pemulihan ekonomi akan terjadi dengan cepat, apalagi setelah prediksi RDG The Fed yang menyatakan ekonomi ke depannya akan agak suram.

Saham di bidang energi, wisata, perbankan, yang kemarin berhasil reli setelah dibukanya ekonomi, hari ini anjlok tajam. Citigroup anjlok 13%, Wells Fargo turun 9,8, sementara JP Morgan tumbang 8,3%.

Sementara itu klaim pengangguran turun ke angka 1,5 juta, di bawah konsensus 1,6 juta.

"Semuanya dijual, ada ketakutan kita masih jauh dari puncak, isu yang beredar kembali ke akan merebaknya pandemi corona gelombang kedua" ujar Tim Ghriskey kepala analis investasi Inverness Counsel dilansir dari Reuters.

RDG The Fed yang memprediksi pemulihan ekonomi akan lambat juga menjadi kontribusi anjloknya harga minyak mentah dunia. Akan tetapi Presiden AS Donald Trump tidak setuju dengan prediksi tersebut.

Kemarin (11/6/20) Trump berpendapat via Twitter bahwa The Fed sering membuat kesalahan. Presiden Trump juga sudah melihat dan menilai data tersebut dan mengatakan bahwa AS pada kuartal ketiga akan baik-baik saja, bahkan pada kuartal keempat akan menjadi sangat baik, dan pada tahun 2021 akan menjadi tahun terbaik AS. Vaksin dan obat juga sebentar lagi akan ditemukan.

Sementara itu dari kawasan Benua Kuning, sentimen negatif juga muncul setelah Indeks Harga Produsen (PPI) di China pada bulan Mei anjlok karena rendahnya permintaan akibat pandemi corona.

PPI anjlok 3,7% dari bulan May tahun lalu, menurut data Biro Statistik Nasional China, angka ini jauh lebih tinggi daripada konsensus yang dihimpun Reuters.

PPI yang negatif ini diperkirakan akan terus muncul karena lemahnya tingkat permintaan, menurut Teck Kin Suan, kepala riset United Overseas Bank seperti dilansir dari CNBC Internasional.

Pada bulan Mei, Indeks Harga Konsumen (CPI) naik 2,4% dibanding tahun lalu, angka ini juga lebih rendah dari konsensus Reuters yang memprediksi akan CPI akan naik 2,7%.

Ekonom di Capital Economics berpendapat dalam publikasinya bahwa dengan ditingkatkannya kebijakan stimulus ini akan menyokong perekonomian dan mengurangi tekanan harga pada bulan-bulan ke depan.

Sementara itu dari dalam negeri, rilis data menunjukkan bahwa terjadinya penambahan harian kasus positif virus nCov-19 di angka yang cukup tinggi yaitu979 orang positif dalam sehari dengan total 35.295 pasien positif dengan total korban jiwa 2.000 orang.

Kenaikan ini sangat mengkhawatirkan mengingat akan dibukanya pusat perbelanjaan alias mal pekan depan yang akan menarik kerumunan masyarakat..

Rilis data ini tentunya akan mendatangkan ketakutan bagi para pelaku pasar akan munculnya gelombang kedua virus Covid-19. Apalagi banyak yang berpendapat bahwa gelombang pertama virus corona saja belum berhasil dilewati.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(trp/trp)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Deretan Saham yang Diborong & Dilepas Asing di Semester I

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular