Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan Kamis (11/6/20) ditutup terkapar di zona merah dengan penurunan 1,34% ke level 4.854,75 setelah pada sesi pertama berhasil memanjat ke zona hijau (+0,04%) tapi gagal bertahan. Penurunan ini dikarenakan kelanjutan aksi profit taking para investor setelah IHSG reli panjang selama dua pekan kemarin.
Investor asing kembali mencatatkan aksi jual bersih sebanyak Rp 257 miliar di pasar reguler. Saham yang paling banyak dijual asing hari ini adalah PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) yang dijual asing sebanyak Rp 234 miliar.
Seiring dengan IHSG, mayoritas bursa Asia hari ini terpantau merah, Hang Seng Index di Bursa Hong Kong turun sebesar 2,27%, Nikkei di Jepang terdepresiasi sebesar 2,82%, sedangkan STI Singapore juga anjlok 3,48%.
Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) The Fed juga turut menjadi penggerak pasar global. Maklum rapat ini tidak hanya ditunggu oleh pelaku pasar Paman Sam tapi pelaku pasar di seluruh dunia.
Sesuai konsensus The Fed tidak menaikkan atau menurunkan suku bunga, sehingga tetapi di angka 0% ke 0,25%.
"Kita tidak berpikir untuk menaikkan suku bunga, bahkan kita tidak berpikir untuk berpikir untuk menaikkan suku bunga, yang kita pikirkan itu bagaimana kita akan menyokong perekonomian, akan tetapi kita pikir hal ini akan memerlukan waktu," ujar Gubernur The Fed Jerome Powell.
Rendahnya suku bunga ini akan berlanjut, menurut The Fed suku bunga ini akan dijaga sampai pada tahun 2022. Sementara itu outlook suku bunga untuk tahun 2020, 2021, dan 2022 turun 0,1% dari proyeksi bulan Desember.
"Komite akan mempertahankan target ini sampai kita benar-benar percaya bahwa ekonomi sudah tidak terdampak masalah (virus corona) ini lagi dan sudah menuju tingkat tenaga kerja yang maksimum dan stabilitas harga," ujar The Fed.
Keputusan ini datang setelah bank sentral ini terus melanjutkan program peminjaman dananya untuk menyokong perekonomian yang sudah resmi masuk ke fase resesi sejak Februari lalu.
Data tenaga kerja pada bulan May yang kemarin berhasil membuat investor berharap akan terjadinya perbaikan ekonomi yang cepat ternyata berbeda dengan tanggapan The Fed yang memotong proyeksi pertumbuhan AS untuk tahun-tahun ke depan setelah ketidakpastian global akibat pandemi ini.
Produk Domestik Bruto (GDP) AS diprediksi akan terkontraksi sebesar 6,5% di tahun 2020, jauh dari target sebelumnya yaitu 2%. Akan tetapi The Fed berekspektasi bahwa ekonomi tahun depan akan berekspansi 5% dan di tahun 2022 akan tumbuh 3,5%, naik tinggi dari prediksi sebelumnya yaitu 1,8 di tahun 2021 dan 1,9 di tahun 2022.
Tingkat pengangguran tahun ini di prediksi akan berada di level 9,3% naik dari prediksi sebelumnya 3,5%. Tetapi akan turun ke level 5,5% di tahun 2022.
Inflasi yang menjadi penggerak kebijakan moneter untuk kedepanya diprediksi akan turun ke level 0,8%. Angka ini turun dari proyeksi sebelumnya di angka 1,9%.
Total stimulus yang disuntikkan The Fed juga menyebabkan total neraca The Fed naik menjadi US$ 7 triliun naik dari US$ 4 triliun sebelum diserang pandemi Covid-19 Maret lalu. Akan tetapi The Fed tidak berencana untuk mengurangi kebijakan pelonggaran kuantitatifnya (QE), dengan berjanji untuk tetap menjaga kecepatan pembelian obligasi dalam bulan-bulan ke depan untuk menyokong aliran kredit ke rumah tangga dan bisnis.
Sementara itu sentimen negatif datang melalui peringatan The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) bahwa pandemi corona akan mengakibatkan resesi terburuk dalam 100 tahun terakhir, dan pandemi corona jilid 2 akan mengakibatkan ekonomi dunia terkontraksi sebesar 7,6% di tahun 2020.
Sentimen negatif yang sedang marak pada akhirnya membuat nilai tukar rupiah harus mengalami pelemahan di hadapan dolar pada penutupan perdagangan spot hari ini, Kamis (11/6/2020).
Pada penutupan perdagangan US$ 1 dibanderol Rp 13.950. Mata uang Garuda terdepresiasi sebesar 0,22% di hadapan dolar greenback dibanding posisi penutupan kemarin. Kini dolar semakin mendekat ke Rp 14.000.
Sementara Data Refinitiv menunjukkan koreksi harga surat utang negara (SUN) tercermin dari tiga seri acuan (benchmark). Ketiga seri tersebut adalah FR0082 bertenor 10 tahun, FR0080 bertenor 15 tahun dan FR0083 bertenor 20 tahun, sementara FR0081 bertenor 5 tahun justru mengalami penguatan.
Seri acuan yang paling melemah hari ini adalah FR0083 yang bertenor 20 tahun dengan kenaikan yield 11,20 basis poin (bps) menjadi 7,705%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.
Dari bursa saham acuan global di Amerika Serikat (AS) pada perdagangan (11/6/20), ditutup anjlok tajam. Penurunan lebih dari 5% terjadi di 3 indeks besar Wall Street
Indeks Dow Jones anjlok tajam 6,90% atau turun1861 poin ke level 25.128,17. Selanjutnya S&P 500 yang juga ikut terdepresiasi 5,89% atau amblas188 poin ke level 3.002,10 sementara Nasdaq terkoreksi tajam sebesar 5,27% atau turun527,61 poin ke level 9.492,73.
Keprihatinan akan gelombang kedua penyebaran virus corona muncul setelah beberapa negara bagian AS membuka kembali ekonomi.
Sebagai dilaporkan AP, Texas mencatatkan rekor tertinggi pasien Covid-19 dalam tiga hari terakhir. Sembilan wilayah di California juga melaporkan kenaikan kasus corona dan juga jumlah pasien yang terkonfirmasi terkena virus berbahaya tersebut.
Dalam laporan riset yang dikutip CNBC International, analis makroekonomi EvercoreISI Dennis DeBusschere menilai kebijakan moneter ramah dari Federal Reserve tidak bisa mengimbangi dampak buruk gelombang kedua Covid-19.
"Dengan peningkatan kasus dan pasien baru di Texas, Arizona, dan California, investor prihatin bahwa aksi demonstrasi baru-baru ini akan menyulut gelombang infeksi, yang mengancam ekonomi yang masih rendah dan pertumbuhan laba bersih," tuturnya.
Kasus corona baru di AS meningkat menjadi 20,2486 kasus per hari dari sebelumnya 17,376. Secara total, jumlah pengidap virus corona mencapai 2 juta orang di AS dengan 116.000 korban jiwa.
Dengan naiknya kasus harian ini, para pelaku pasar memikirkan ulang apakah benar pemulihan ekonomi akan terjadi dengan cepat, apalagi setelah prediksi RDG The Fed yang menyatakan ekonomi ke depannya akan agak suram.
Saham di bidang energi, wisata, perbankan, yang kemarin berhasil reli setelah dibukanya ekonomi, hari ini anjlok tajam. Citigroup anjlok 13%, Wells Fargo turun 9,8, sementara JP Morgan tumbang 8,3%.
Sementara itu klaim pengangguran turun ke angka 1,5 juta, di bawah konsensus 1,6 juta.
"Semuanya dijual, ada ketakutan kita masih jauh dari puncak, isu yang beredar kembali ke akan merebaknya pandemi corona gelombang kedua" ujar Tim Ghriskey kepala analis investasi Inverness Counsel dilansir dari Reuters.
Ketakutan akan merebaknya pandemi corona jilid dua juga terjadi di seluruh dunia, ini menyebabkan harga minyak mentah kembali anjlok.
Harga kontrak berjangka untuk minyak mentah WTI anjlok 8,2%, sementara minyak mentah Brent turun 7,7%. Turunnya harga minyak dunia ini akibat tingginya pasokan minyak dalam negeri AS, bahkan tertinggi dalam 3 tahun terakhir, apalagi Wall Street terpantau anjlok karena ketakutan akan munculnya gelombang kedua pandemi Covid-19.
"Peningkatan pasokan minyak mentah AS sekarang berada di level 538 juta barel, melewati pasokan tahun 2017, bahkan faktanya tertinggi sejak 1982," ujar analis dari ING melalui publikasinya.
Rebound selama 6 pekan kemarin sendiri dikarenakan pemotongan produksi oleh OPEC+ dan penutupan sumur minyak di AS.
RDG The Fed yang memprediksi pemulihan ekonomi akan lambat juga menjadi kontribusi anjloknya harga minyak mentah dunia. Akan tetapi Presiden AS Donald Trump tidak setuju dengan prediksi tersebut.
Kemarin (11/6/20) Trump berpendapat via twitter bahwa The Fed sering membuat kesalahan. Presiden Trump juga sudah melihat dan menilai data tersebut dan mengatakan bahwa AS pada kuartal ketiga akan baik-baik saja, bahkan pada kuartal keempat akan menjadi sangat baik, dan pada tahun 2021 akan menjadi tahun terbaik AS. Vaksin dan obat juga sebentar lagi akan ditemukan.
Sementara itu dari kawasan Benua Kuning, sentimen negatif juga muncul setelah Indeks Harga Produsen (PPI) di China pada bulan Mei anjlok karena rendahnya permintaan akibat pandemi corona.
PPI anjlok 3,7% dari bulan May tahun lalu, menurut data Biro Statistik Nasional China, angka ini jauh lebih tinggi daripada konsensus yang dihimpun Reuters.
PPI yang negatif ini diperkirakan akan terus muncul karena lemahnya tingkat permintaan, menurut Teck Kin Suan, kepala riset United Overseas Bank seperti dilansir dari CNBC Internasional.
Pada bulan Mei, Indeks Harga Konsumen (CPI) naik 2,4% dibanding tahun lalu, angka ini juga lebih rendah dari konsensus Reuters yang memprediksi akan CPI akan naik 2,7%.
Ekonom di Capital Economics berpendapat dalam publikasinya bahwa dengan ditingkatkannya kebijakan stimulus ini akan menyokong perekonomian dan mengurangi tekanan harga pada bulan-bulan ke depan.
Sementara itu dari dalam negeri, rilis data Juru Bicara Pemerintah Khusus untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto pada Kamis lalu (11/6/20) menunjukkan bahwa terjadinya penambahan harian kasus positif virus nCov-19 yang cukup tinggi yaitu 979 pasien positif dalam sehari dengan total 35.295 pasien positif dan 2.000 korban jiwa.
Kenaikan ini sangat mengkhawatirkan mengingat akan dibukanya pusat perbelanjaan alias mal pekan depan yang akan menarik kerumunan masyarakat.
Rilis data ini tentunya akan mendatangkan ketakutan bagi para pelaku pasar akan munculnya gelombang kedua virus Covid-19. Apalagi banyak yang berpendapat bahwa gelombang pertama virus corona saja belum berhasil dilewati.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Data Produksi Industri Jepang Bulan April (13:00 WIB)
- Data Neraca Dagang Britania Raya Bulan April (13:00 WIB)
- Data Output Konstruksi Britania Raya Bulan April (13:00 WIB)
- Data Produksi Industri Britania Raya Bulan April (13:00 WIB)
- Data Rata-Rata PDB 3 Bulanan Britania Raya Bulan April (13:00 WIB)
- Data Produksi Industri Uni-Eropa Bulan Mei (16:00 WIB)
- RUPST PT Surya Pertiwi Tbk (SPTO)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Kuartal I-2020 YoY) | 2,97% |
Inflasi (Mei 2020 YoY) | 2,19% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Mei 2020) | 4,5% |
Defisit anggaran (APBN 2020) | -5,07% PDB |
Transaksi berjalan (1Q20) | -1,4% PDB |
Cadangan devisa (April 2020) | US$ 127,88 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA