
Kasus Corona RI Tembus Rekor, Tapi Rupiah Ogah Tekor!

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat di perdagangan pasar spot pagi ini. Rupiah mampu perkasa di tengah gempuran sentimen negatif yang beredar di pasar.
Pada Kamis (11/6/2020), US$ 1 dihargai Rp 13.920 kala pembukaan pasar spot. Sama persis posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya alias stagnan.
Namun rupiah kemudian berhasil menyeberang ke zona hijau. Pada pukul 09:15 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 13.870 di mana rupiah menguat 0,56%.
Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan depresiasi 0,58% di hadapan dolar AS. Hampir seluruh mata uang utama Asia menguat, sehingga praktis rupiah jadi yang terlemah di Benua Kuning.
Pagi ini datang kabar gembira dari Korea Selatan. Pada 10 hari pertama Juni 2020, ekspor Negeri Ginseng melonjak 20,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
"Ini adalah sinyal positif bahwa permintaan global mulai pulih. Pelonggaran pembatasan sosial di berbagai negara menyebabkan permintaan meningkat," Kata Moon Jung Hui, Ekonom KB Bank yang berbasis di Seoul, seperti dikutip dari Reuters.
Apa yang terjadi di Korea memberi harapan bahwa kehidupan normal yang baru (new normal) akan membuat roda perekonomian dunia kembali berputar. Kalau tidak ada kendala, maka pemulihan ekonomi mulai akan terasa pada paruh kedua 2020.
Akan tetapi bukan berarti rupiah bisa berleha-leha. Sebab sentimen domestik dan eksternal sebenarnya memunculkan risiko bagi mata uang Tanah Air.
Dari dalam negeri, penyebaran virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) masih mengkhawatirkan. Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melaporkan jumlah pasien positif corona per Rabu (10/6/2020) adalah 34.316 orang. Bertambah 1.241 orang dibandingkan posisi hari sebelumnya, sekaligus menjadi rekor tertinggi penambahan kasus harian sejak Indonesia mencatat pasien pertama pada awal Maret.
Rekor sebelumnya terjadi pada Selasa. Jadi dalam dua hari beruntun penambahan kasus baru selalu mencatatkan rekor tertinggi.
Kurva kasus corona di Indonesia belum bisa dibilang melandai. Malah yang terjadi adalah kecenderungan melengkung ke atas.
Dari sisi persentase laju pertumbuhan kasus harian, Indonesia juga belum stabil. Masih fluktuatif, naik-turun. Belum terlihat ada pola penurunan yang ajeg.
Pada 10 Juni, jumlah pasien baru naik 3,75% dibandingkan hari sebelumnya. Ini menjadi kenaikan harian tertinggi sejak 23 Mei. Bahkan dalam empat hari terakhir, laju pertumbuhan kasus terus meningkat dari 2,2%, 2,72%, 3,26%, dan 3,75%.
Situasi seperti ini yang membuat Nomura, lembaga keuangan asal Jepang, memasukkan Indonesia ke kelompok negara yang berisiko mengalami gelombang serangan kedua (second wave outbreak) virus corona. Indonesia berada di grup yang sama dengan Brasil, India, sampai Singapura.
Ada dua hal yang patut terus dimonitor oleh pelaku pasar. Pertama adalah penyebaran virus itu sendiri dan kedua upaya yang dilakukan untuk mempersempit ruang gerak penyebaran virus.
Kalau kasus corona terus meningkat dalam jumlah yang signifikan dalam periode yang cukup lama, maka bukan tidak mungkin pemerintah akan kembali mengetatkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Apabila PSBB sampai ketat lagi, maka kontraksi (pertumbuhan negatif) ekonomi adalah sebuah risiko yang sangat nyata.
Sementara dari sisi eksternal, investor memilih bermain aman dulu setelah mencerna hasil rapat Komite Pengambil Kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC). Sesuai perkiraan, suku bunga acuan masih ditahan di 0-0,25% (median 0,125%). Namun yang membuat pelaku pasar agak cemas adalah sesuatu yang menyertainya.
Dalam rapat kali ini, The Fed merilis proyeksi terbaru soal ekonomi Negeri Paman Sam. Well, angkanya lumayan mengerikan.
Pada 2020, The Fed memperkirakan ekonomi AS terkontraksi -6,5%. Jauh memburuk ketimbang proyeksi sebelumnya yang memperkirakan ada pertumbuhan 2%.
Kemudian tingkat pengangguran pada tahun ini diperkirakan 9,3%. Lebih tinggi dibandingkan perkiraan sebelumnya yaitu 3,5%.
Lalu inflasi yang diukur dari Personal Consumption Expenditure (PCE) inti berada di 1% sepanjang 2020. Melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 1,9%.
Sedangkan median suku bunga acuan pada 2020 adalah 0,1% atau sama seperti sekarang. Jadi kemungkinan besar Federal Funds Rate tidak akan diutak-atik sampai akhir tahun.
Bahkan mungkin suku bunga acuan di AS tidak akan berubah sampai 2022. Baru selepas itu dalam jangka panjang akan naik dan mengarah ke median 2,5%.
![]() |
Selain proyeksi baru yang jauh lebih pesimistis itu, pernyataan Powell dalam jumpa pers juga tidak kalah gloomy. Sosok pengganti Janet Yellen itu menyatakan bahwa butuh waktu lama untuk 'menyembuhkan' perekonomian Negeri Adidaya.
"Dua puluh empat juga orang. Bagaimana pun negara harus bisa membuat mereka kembali bekerja. Mereka tidak bersalah, ini adalah bencana.
"Jalan akan panjang, akan memakan waktu. Kami akan menggunakan berbagai instrumen yang ada untuk mendukung pasar tenaga kerja dan ekonomi secara keseluruhan sampai benar-benar pulih," papar Powell, sebagaimana dikutip dari Reuters.
Oleh karena itu, lanjut Powell, kenaikan suku bunga acuan adalah opsi yang untuk sementara disimpan rapat-rapat di dalam lemari besi. "Kami bahkan tidak memikirkan soal kenaikan suku bunga," ujarnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
