Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di perdagangan pasar spot sepanjang hari ini. Faktor eksternal memang punya peran, tetapi sepertinya kejatuhan rupiah lebih disebabkan sentimen domestik.
Pada Rabu (10/6/2020), US$ 1 setara dengan Rp 13.920 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,58% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Kala pembukaan pasar, rupiah sudah melemah 0,61%. Depresiasi rupiah sempat semakin dalam hingga lebih dari 1% dan dolar AS mendekati Rp 14.000. Namun itu tidak lama dan rupiah mampu menipiskan pelemahan.
Berikut pergerakan dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini:
Pelemahan rupiah terjadi kala sebagian besar mata uang utama Asia mampu menguat. Ini membuat rupiah menjadi mata uang terlemah di Asia. Bahkan jelang tengah hari tadi, rupiah sempat menjadi satu-satunya mata uang Asia yang melemah.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 15:25 WIB:
Meski ada sentimen eksternal yaitu penantian pelaku pasar terhadap hasil rapat Komite Pengambil Kebijakan Bank Sentral AS (Federal Open Market Committee/FOMC), tetapi rasanya sentimen dalam negeri mendominasi. Pertama, investor melakukan ambil untung (profit taking) karena rupiah sudah menguat gila-gilaan.
Sejak awal kuartal II-2020 hingga kemarin, rupiah menguat 15,03% terhadap dolar AS. Rupiah menjadi yang terkuat di Asia, mata uang lain bahkan tidak ada yang bisa mendekati.
Namun, pencapaian ini juga membawa 'kutukan'. Potensi keuntungan yang didapat investor dari rupiah menjadi sangat menggiurkan. Sayang kalau tidak dicairkan, bisa-bisa kehilangan kesempatan.
Oleh karena itu, rupiah sangat rentan untuk terpapar aksi profit taking. Ketika ini terjadi, rupiah yang terkena tekanan jual menjadi melemah.
Kedua, ada kemungkinan investor menyoroti perkembangan pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Pasalnya, kurva kasus corona di Tanah Air belum melandai, masih cenderung melengkung ke atas.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mengungkapkan, jumlah pasien positif corona di Tanah Air per 10 Juni 2020 adalah 34.316 orang. Bertambah 1.241 orang dibandingkan posisi hari sebelumnya sekaligus menjadi rekor tertinggi penambahan kasus harian. Rekor sebelumnya terjadi kemarin dengan penambahan 1.043.
Mengutip riset Nomura, Indonesia menjadi salah satu negara yang berisiko mengalami gelombang serangan kedua (second wave outbreak). Indonesia berada di kelompok yang sama dengan Brasil, India, sampai Singapura.
"Ada 17 negara yang belum menunjukkan risiko gelombang serangan kedua. Sementara 13 negara menunjukkan tanda peringatan tetapi masih tentatif dan 15 negara menjadi yang paling berisiko," sebut riset Nomura.
 Nomura |
Kebetulan Indonesia sedang melonggarkan kebijakan pembatasan sosial (social distancing). Larangan perjalanan sudah tidak seketat dulu, dan sejumlah aktivitas masyarakat sudah diizinkan lagi meski protokol kesehatan tetap berlaku.
"Dalam skenario terburuk, pembukaan kembali aktivitas ekonomi kemudian dikaitkan dengan lonjakan kasus harian, bertambahnya rasa kekhawatiran di masyarakat, yang bisa membuat mobilitas kembali terbatas. Lebih ekstrem lagi, lockdown (karantina wilayah) bisa diberlakukan kembali," sebut riset Nomura.
Kalau sampai kemudian lonjakan kasus di Tanah Air membuat pemerintah berpikir ulang untuk menerapkan kehidupan normal baru (new normal) dan kembali menerapkan social distancing, maka prospek ekonomi Indonesia bakal suram. Bank Dunia memperkirakan ekonomi Indonesia tidak tumbuh alias stagnan 0% pada tahun ini. Apabila aktivitas publik kembali dibatasi, maka bukan tidak mungkin terjadi kontraksi (pertumbuhan negatif).
Oleh karena itu, wajar investor agak cemas. Kekhawatiran itu ditunjukkan dengan melepas aset-aset di pasar keuangan Indonesia.
Misalnya di pasar saham, investor asing membukukan jual besih (net sell) Rp 515,46 miliar sehingga Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup ambles 2,27%. Tidak heran rupiah melemah.
TIM RISET CNBC INDONESIA