Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Rupiah pun tidak berdaya di perdagangan pasar spot.
Pada Rabu (10/6/2020), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.083. Rupiah melemah 0,79% dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Sementara di pasar spot, rupiah pun merah. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 13.925 di mana rupiah melemah 0,61%.
Pelemahan ini membawa rupiah menjadi mata uang terlemah di Asia. Pasalnya, depresiasi rupiah terjadi kala hampir seluruh mata uang utama Benua Kuning mampu menguat di hadapan dolar AS.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia di pasar spot pada pukul 10:05 WIB:
Rupiah yang melemah sendirian menandakan sentimen dalam negeri mendominasi. Pertama, investor melakukan ambil untung (profit taking) karena rupiah sudah menguat gila-gilaan.
Sejak awal kuartal II-2020 hingga kemarin, rupiah menguat 15,03% terhadap dolar AS. Rupiah menjadi yang terkuat di Asia, mata uang lain bahkan tidak ada yang bisa mendekati.
Namun, pencapaian ini juga membawa 'kutukan'. Potensi keuntungan yang didapat investor dari rupiah menjadi sangat menggiurkan. Sayang kalau tidak dicairkan, bisa-bisa kehilangan kesempatan.
Oleh karena itu, rupiah sangat rentan untuk terpapar aksi profit taking. Ketika ini terjadi, rupiah yang terkena tekanan jual menjadi melemah.
Kedua, ada kemungkinan investor menyoroti perkembangan pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Pasalnya, kurva kasus corona di Tanah Air belum melandai, masih cenderung melengkung ke atas.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mengungkapkan, jumlah pasien positif corona di Tanah Air per 9 Juni 2020 adalah 33.076 orang. Bertambah 1.043 orang dibandingkan posisi hari sebelumnya sekaligus menjadi rekor tertinggi penambahan kasus harian.
Mengutip riset Nomura, Indonesia menjadi salah satu negara yang berisiko mengalami gelombang serangan kedua (second wave outbreak). Indonesia berada di kelompok yang sama dengan Brasil, India, sampai Singapura.
"Ada 17 negara yang belum menunjukkan risiko gelombang serangan kedua. Sementara 13 negara menunjukkan tanda peringatan tetapi masih tentatif dan 15 negara menjadi yang paling berisiko," sebut riset Nomura.
 Nomura |
Kebetulan Indonesia sedang melonggarkan kebijakan pembatasan sosial (social distancing). Larangan perjalanan sudah tidak seketat dulu, dan sejumlah aktivitas masyarakat sudah diizinkan lagi meski protokol kesehatan tetap berlaku.
"Dalam skenario terburuk, pembukaan kembali aktivitas ekonomi kemudian dikaitkan dengan lonjakan kasus harian, bertambahnya rasa kekhawatiran di masyarakat, yang bisa membuat mobilitas kembali terbatas. Lebih ekstrem lagi, lockdown (karantina wilayah) bisa diberlakukan kembali," sebut riset Nomura.
Kalau sampai kemudian lonjakan kasus di Tanah Air membuat pemerintah berpikir ulang untuk menerapkan kehidupan normal baru (new normal) dan kembali menerapkan social distancing, maka prospek ekonomi Indonesia bakal suram. Bank Dunia memperkirakan ekonomi Indonesia tidak tumbuh alias stagnan 0% pada tahun ini. Apabila aktivitas publik kembali dibatasi, maka bukan tidak mungkin terjadi kontraksi (pertumbuhan negatif).
Oleh karena itu, wajar investor agak cemas. Kekhawatiran itu ditunjukkan dengan melepas aset-aset di pasar keuangan Indonesia. Di pasar saham, investor asing membukukan jual besih (net sell) Rp 199,38 miliar pada pukul 09:30 WIB. Tidak heran rupiah melemah.
TIM RISET CNBC INDONESIA