
Sampai Kapan Pasar Acuhkan Demo #BlackLivesMatter?
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
09 June 2020 11:47

Jakarta, CNBC Indonesia - Kematian warga Amerika Serikat (AS) berkulit hitam George Floyd telah memicu serangkaian protes di berbagai belahan dunia. Namun protes keras yang berujung kerusuhan terutama di AS tersebut tak membuat pasar saham goyang, bahkan justru melaju kencang.
Minggu 25 Mei 2020 kematian George Floyd seolah menunjukkan bahwa rasisme masih hidup. Dalam sebuah video yang viral di media sosial, seorang warga kulit hitam (George Floyd) meronta kesakitan karena lehernya ditekan oleh beberapa oknum polisi di Minneapolis.
Tragedi kemanusiaan tersebut telah memicu gelombang protes yang berujung pada kerusuhan di berbagai wilayah di AS. Ribuan orang turun ke jalan raya untuk menuntut keadilan dan menyuarakan kesetaraan.
Saking masif-nya kerusuhan, bahkan Presiden AS Donald Trump sampai menyiagakan personel militer untuk mengawal gelombang demonstrasi. Puluhan kota di Negeri Paman Sam bahkan menerapkan jam malam.
Sudah dua minggu berlalu, kini gelombang protes juga merebak ke berbagai penjuru dunia. Reuters melaporkan, ribuan orang di Eropa dan Asia juga ikut turun ke jalanan mengecam tindakan yang tak berperikemanusiaan itu pada Sabtu pekan lalu (6/6/2020).
Slogan 'Black Lives Matter' mendadak viral dan jadi headline di berbagai pemberitaan. Ribuan orang di London, Paris, Hamburg, Berlin, Tokyo, Brisbane dan Sydney ikut berdemonstrasi, seolah tak mengindahkan himbauan serta aturan pemerintah untuk tetap tertib selama pelonggaran pembatasan dilangsungkan agar tak memicu terjadinya lonjakan kasus infeksi corona.
Namun huru hara yang terjadi berjilid-jilid itu tak mengusik sedikitpun dunia kapitalisme di Wall Street. Indeks S&P 500 justru mencatatkan reli dan tembus level psikologis 3.000 setelah sebulan terjerembab di zona pesakitan akibat merebaknya pandemi corona di seluruh dunia terutama di AS.
Hal ini seolah membuktikan bahwa kapitalisme memang tidak peduli terhadap permasalahan sosial. "Pasar selalu terlihat tak punya hati, tanpa emosi, tanpa kepedulian, tanpa empati. Namun itulah sifat alami pasar" kata Quincy Krosby, chief market strategist di Prudential Financial, melansir CNBC International.
Minggu 25 Mei 2020 kematian George Floyd seolah menunjukkan bahwa rasisme masih hidup. Dalam sebuah video yang viral di media sosial, seorang warga kulit hitam (George Floyd) meronta kesakitan karena lehernya ditekan oleh beberapa oknum polisi di Minneapolis.
Saking masif-nya kerusuhan, bahkan Presiden AS Donald Trump sampai menyiagakan personel militer untuk mengawal gelombang demonstrasi. Puluhan kota di Negeri Paman Sam bahkan menerapkan jam malam.
Sudah dua minggu berlalu, kini gelombang protes juga merebak ke berbagai penjuru dunia. Reuters melaporkan, ribuan orang di Eropa dan Asia juga ikut turun ke jalanan mengecam tindakan yang tak berperikemanusiaan itu pada Sabtu pekan lalu (6/6/2020).
Slogan 'Black Lives Matter' mendadak viral dan jadi headline di berbagai pemberitaan. Ribuan orang di London, Paris, Hamburg, Berlin, Tokyo, Brisbane dan Sydney ikut berdemonstrasi, seolah tak mengindahkan himbauan serta aturan pemerintah untuk tetap tertib selama pelonggaran pembatasan dilangsungkan agar tak memicu terjadinya lonjakan kasus infeksi corona.
Namun huru hara yang terjadi berjilid-jilid itu tak mengusik sedikitpun dunia kapitalisme di Wall Street. Indeks S&P 500 justru mencatatkan reli dan tembus level psikologis 3.000 setelah sebulan terjerembab di zona pesakitan akibat merebaknya pandemi corona di seluruh dunia terutama di AS.
Hal ini seolah membuktikan bahwa kapitalisme memang tidak peduli terhadap permasalahan sosial. "Pasar selalu terlihat tak punya hati, tanpa emosi, tanpa kepedulian, tanpa empati. Namun itulah sifat alami pasar" kata Quincy Krosby, chief market strategist di Prudential Financial, melansir CNBC International.
Pages
Most Popular