Gara-gara The Fed, Rupiah Jadi Susah Menguat

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
09 June 2020 10:13
mata uang rupiah dolar dollar Bank Mandiri
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Di pasar spot, rupiah yang sempat menguat kini kembali stagnan.

Pada Selasa (9/6/2020), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 13.973. Rupiah melemah 0,12% dibandingkan posisi hari sebelumnya. 

Pelemahan ini memutus rantai penguatan rupiah di kurs tengah BI yang sebelumnya terjadi salam enam hari perdagangan beruntun. Selama enam hari tersebut, apresiasi rupiah mencapai 5,5%.

Di pasar spot, rupiah tidak mampu bertahan lama di zona hijau. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 dihargai Rp 13.850, sama seperti penutupan perdagangan hari sebelumnya alias stagnan.

Kala pembukaan pasar, rupiah stagnan di Rp 13.850/US$. Tidak lama kemudian, rupiah sempat menguat tipis 0,07%. Namun sekarang mata uang Tanah Air stagnan lagi.


Sedangkan mata uang utama Asia lainnya bergerak variatif di hadapan dolar AS. Ini menunjukkan ada keraguan di benak investor.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning di pasar spot pada pukul 10:07 WIB:

 

Mengapa investor dilanda kegalauan? Sebab ada dua sentimen yang saling bertolak belakang.

Pertama, dolar AS sebenarnya cenderung menguat. Pada pukul 09:15 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,06%.

Mata uang Negeri Paman Sam mendapatkan kepercayaan diri jelang pertemuan Komite Pengambil Kebijakan Bank Sentral AS (Federal Open Market Committee/FOMC). Mengutip CME FedWatch, peluang suku bunga acuan AS dipertahankan di 0-0,25% adalah 85%. Bahkan ada peluang 15% Federal Funds Rate dinaikkan 25 basis poin (bps) menjadi 0,25-0,5%.

cmeCME FedWatch

Baca: Suku Bunga AS Bisa Minus, Serius?

Probabilitas penurunan suku bunga acuan Negeri Adidaya ke level negatif sudah tidak ada, setidaknya untuk saat ini. Sebab, tanda-tanda pemulihan ekonomi di sana semakin kuat.

Pada Mei, perekonomian AS menciptakan lapangan kerja sebanyak 2,51 juta. Jauh membaik ketimbang bulan sebelumnya di mana kesempatan kerja berkurang 20,69 juta. Juga jauh lebih baik ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yang memperkirakan terjadi penyusutan lapangan kerja sebanyak 8 juta.

Pencapaian ini membuat tingkat pengangguran AS sedikit menurun. Pada Mei, tingkat pengangguran tercatat 13,3% sedangkan bulan sebelumnya mencapai 14,7%.

Oleh karena itu, sepertinya AS belum butuh stimulus moneter lanjutan dalam bentuk penurunan suku bunga acuan. Apalagi para pejabat The Federal Reserve/The Fed pun menunjukkan sikap tidak sepakat dengan suku bunga negatif.

"Pandangan kami terhadap suku bunga negatif belum berubah. Itu bukan sesuatu yang kami lihat," tegas Jerome 'Jay' Powell, Ketua The Fed, belum lama ini seperti diwartakan Reuters.

Tanpa penurunan suku bunga acuan lebih lanjut, berinvestasi di instrumen berbasis dolar AS (terutama di aset berpendapatan tetap seperti obligasi) tetap akan menarik. Ini membuat permintaan dolar AS meningkat.


Namun ada sentimen kedua yang membuat pelaku pasar tetap memburu aset-aset berisiko. Sinyal pemulihan ekonomi global setelah dihajar habis-habisan oleh pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-2019) kian terlihat.

Laporan terbaru Bank Dunia menyebutkan bahwa ekonomi dunia pada 2020 kemungkinan akan terkontraksi (tumbuh negatif) -5,2%. Namun pada 2021, ekonomi kembali tumbuh bahkan suku meyakinkan di 4,2%. Proyeksi pertumbuhan ekonomi untuk 2021 naik dari perkiraan sebelumnya yang dibuat pada Januari yaitu 2,6%.

"Resesi dunia kami perkirakan hanya berlangsung selama setahun, ekonomi akan kembali tumbuh positif pada 2021. Ini sejalan dengan pengalaman beberapa resesi sebelumnya, di mana hanya berpengaruh terhadap data selama setahun," sebut laporan Bank Dunia.


Setelah penyebaran virus corona di berbagai negara mulai mereda, keran aktivitas publik pelahan mulai dibuka kembali. Ini memberi harapan ekonomi bakal pulih mulai paruh kedua 2020 dan berlanjut hingga 2021, dengan catatan tidak ada gelombang serangan kedua, ketiga, dan seterusnya.

Perkembangan ini membuat investor agak optimistis dan masih berhasrat untuk masuk ke pasar keuangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Namun karena penantian akan rapat FOMC, hasrat tersebut menjadi sedikit terbatas.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular