Di Balik Misi Bank Mega Melawan Corona

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
05 June 2020 14:55
Chairman CT Corp Chairul Tanjung dan Pendiri CT Arsa foundation Anita Ratnasari Tanjung di acara Alumni CT Arsa Foundation di Auditorium Bank Mega, Jakarta, Sabtu (27/7). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Chairman CT Corp Chairul Tanjung dan Pendiri CT Arsa foundation Anita Ratnasari Tanjung di acara Alumni CT Arsa Foundation di Auditorium Bank Mega, Jakarta, Sabtu (27/7). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jika kita mengacu pada studi University of California, Berkeley, apa yang dilakukan Bank Mega dengan program CSR-nya ini merupakan bentuk aglomerasi (penggabungan) dua jenis CSR, yakni CSR ingrain (yang bersifat laten) dan CSR add-on (tambahan).

Dalam laporan berjudul “Strategically Leveraging Corporate Social Responsibility: A Corporate Branding Perspective” (2012), Christine Vallaster dkk melaporkan bahwa dua level integrasi CSR itu banyak dijalankan dalam praktik bisnis, karena sama-sama memperkuat merek (brand) baik untuk produk (product brand) maupun perusahaan (corporate brand).

Ada perusahaan yang melakukan CSR karena panggilan eksternal (stakeholder) sehingga berujung pada CSR tambahan (add on), misalnya ketika Bank Mega turun tangan demi melihat stakeholder—yakni pemerintah dan masyarakat—memerlukan bantuan di tengah pandemi, seperti halnya saat Bank Mega membantu pengadaan peralatan fasilitas medis di 2 rumah sakit rujukan Covid-19. 

Namun, dan ada juga CSR yang berjalan karena panggilan internal (shareholder), yang berujung pada CSR laten (ingrained) dan menjadi bagian dari budaya korporasi. Ini dilakukan Bank Mega denganMega Berbagi, Mega Peduli serta pengembangan kapasitas internal dan penyaluran kredit berkelanjutan.

csrSumber: Christine Vallaster et al (2012)

Membantah paradigma yang disodorkan Levitt dan Friedman, Christine menilai CSR dan dua variannya itu justru membantu perusahaan menciptakan dan menjaga nilai korporasi (baik nilai ekonomi maupun sosial), dan bukannya membahayakan eksistensi mereka. Asalkan, kegiatan CSR tersebut terkomunikasikan dengan baik kepada masyarakat.

Banyak studi yang mengonfirmasi hal tersebut di berbagai negara. Salah satunya adalah riset Merve Kilic dkk yang berjudul “The Impact of Ownership and Board Structure on Corporate Social Responsibility (CSR) Reporting in The Turkish Banking Industry” pada tahun 2015.

Kilic melaporkan temuannya bahwa masyarakat Turki menilai bank yang ideal adalah yang memberikan dukungan terhadap aktivitas pendidikan, kebudayaan dan olah raga. Di sisi lain, mereka yang hanya fokus berbisnis justru cenderung meredup bisnisnya di masyarakat.

“Aktivitas demikian, akan meningkatkan kinerja sosial bank tersebut, yang pada gilirannya melegitimasi aktivitas mereka dan mendapatkan citra positif di mata publik terkait dengan kinerja sosial yang lebih baik,” demikian Kilic menyimpulkan (2015:17).

 

Masyarakat juga ternyata lebih loyal pada bank dengan nilai (value) yang baik. Hal ini sangat penting, terutama untuk industri bank, sebagaimana disimpulkan Barbara R. Lewis & Magdalini Soureli dalam riset berjudul “The Antecedents of Consumer Loyalty in Retail Banking” (2006).

“Terlihat bahwa loyalty (nasabah) dipengaruhi oleh nilai yang mereka lihat, kualitas layanan yang dirasakan, kepuasan, atribut layanan, imaji, dan rasa kepercayaan,” tulis Barbara dan Magdalini (2006:27)

Bank Mega membuktikan itu. Dengan berbagai layanan dan program CSR-nya, loyalitas pelanggan pun terjaga. Hal ini dikonfirmasi oleh MRI dengan menganugerahkan penghargaan sebagai bank berperingkat 1 pada 7 kategori dalam hal kesetiaan pelanggan, di antara Bank Buku III di 2019.

TIM RISET CNBC INDONESIA (ags/ags)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular