Ternyata Ini yang Bikin Rupiah Susah ke Bawah 14.000/US$

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
04 June 2020 13:53
mata uang rupiah dolar dollar Bank Mandiri
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah gagal mempertahankan momentum penguatan 2 hari terakhir melawan dolar AS pada perdagangan Kamis (4/6/2020). Hingga pertengahan perdagangan rupiah masih tertahan di zona merah.

Rupiah langsung melemah 0,36% ke Rp 14.100/US$, kemudian berbalik menguat 0,14% ke Rp 14.030/US$. Setelahnya rupiah maju-mundur menguat melemah silih berganti beberapa saat sebelum akhirnya terperangkap di zona merah. Pada pukul 12:00 WIB, rupiah berada di level Rp 14.100/US$, melemah 0,36% di pasar spot, melansir data Refinitiv.

Rabu Kemarin rupiah melesat tajam 2,29% di pasar spot, sehari sebelumnya sebesar 1,34%. Sementara pada periode April-Mei Mata Uang Garuda juga tercatat menguat tercatat melesat lebih dari 10%.

Penguatan tajam rupiah dalam 2 hari terakhir dipicu sentimen pelaku pasar yang membaik merespon new normal di berbagai negara, sehingga terjadi capital inflow yang deras ke dalam negeri.



Hasil survei terbaru Reuters menunjukkan dolar AS memang diprediksi akan melemah dalam beberapa waktu ke depan, tetapi ada risiko yang membuat the greenback bisa bangkit lagi.

Survei yang dilakukan Reuters pada periode 1-3 Juni lalu terhadap lebih dari 60 analis menunjukkan dolar AS diramal akan melanjutkan pelemahan akibat bank sentral diberbagai belahan dunia terus melakukan pembelian aset (obligasi pemerintah dan aset lainnya).

Kebijakan tersebut membuat perekonomian banjir likuiditas, ditambah dengan penerapan new normal, yakni memutar kembali roda bisnis dengan protokol kesehatan yang ketat, membuat ekspektasi perekonomian akan segera bangkit semakin membuncah.

Kondisi tersebut membuat pelaku pasar mengalirkan investasinya ke aset-aset berisiko, sehingga dolar AS yang menyandang status safe haven menjadi tidak menarik, dan nilainya pun melemah.

Tetapi, survei tersebut juga menunjukkan adanya risiko yang tinggi yang menghantui pasar keuangan dan membuat dolar AS kembali menjadi sasaran investasi. Sebanyak 70% dari 57 analis yang disurvei Reuters menyatakan dalam enam bulan ke depan permintaan akan safe haven bisa kembali meningkat akibat risiko yang tinggi dari eskalasi konflik AS-China.

Hubungan Amerika Serikat dengan China memang sedang memburuk dalam beberapa bulan terakhir. Penyebabnya adalah virus corona yang dikatakan berasal dari laboratorium di China. Hubungan kedua negara semakin memburuk akibat masalah Hong Kong, dimana China akan menerapkan undang-undang keamanan baru merespon demonstrasi berbulan-bulan di wilayah administratifnya tersebut pada tahun lalu.

AS sekali lagi ikut campur dengan mengecam undang-undang tersebut, bahkan status istimewa Hong Kong yang diberikan oleh pemerintah AS sudah dicabut.

China kemudian menghentikan impor beberapa produk asal AS, yang kemudian direspon dengan rencana pelarangan maskapai asal China terbang ke AS.

Konflik kedua negara memang terlihat belum akan mereda dalam waktu dekat. Apalagi AS akan mengadakan pemilihan presiden pada November mendatang, sehingga ada kemungkinan China enggan bernegosiasi sampai pemilu tersebut selesai.

Adanya risiko tersebut membuat rupiah masih kesulitan menembus level psikologis Rp 14.000/US$ pada hari ini. Apalagi rupiah sudah menguat lebih dari 13% sejak awal April, sehingga sangat rentan memicu aksi ambil untung (profit taking) yang membuat nilainya menjauhi level psikologis tersebut.

[Gambas:Video CNBC]




Dalam 2 hari terakhir, capital inflow sangat besar yang membuat nilai tukar rupiah melesat. Derasnya aliran modal ke dalam negeri terlihat dari lelang obligasi atau Surat Berharga Negara (SBN) Selasa lalu yang penawarannya mencapai 105,27 triliun.

Ada 7 seri SBN yang dilelang kemarin, dengan target indikatif pemerintah sebesar US$ 20 triliun, artinya terjadi oversubscribed 5,2 kali.

Pemerintah menyerap Rp 24,3 triliun dari seluruh penawaran yang masuk, di atas target indikatif, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan.

Tingginya minat investor terhadap SBN juga terlihat di pasar sekunder, yield SBN tenor 10 tahun kemarin turun 22,1 basis poin (bps) menjadi 7,005%, yang menjadi level terendah sejak 12 Maret.

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.



Di pasar saham juga terjadi inflow yang cukup besar dalam 2 hari terakhir. Berdasarkan data RTI, Rabu kemarin kemarin investor asing net buy sebesar Rp 1,5 triliun, dan pada hari Selasa sebesar Rp 872,35 miliar di all market.

Sementara hingga akhir sesi I perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) hari ini, investor asing sudah net buy Rp 520,51 miliar di pasar reguler.

Rupiah sebenarnya punya modal untuk kembalki menguat, tetapi sekali lagi level psikologis merupakan level "keramat" yang cukup sulit untuk ditembus.

Rupiah sepertinya juga menanti keputusan Pembatasan Sosial Barskala Besar (PSBB) DKI Jakarta akan diakhiri hari ini atau diperpanjang. Jika diakhiri, new normal akan diterapkan dan roda perekonomian kembali berputar dengan protokol kesehatan yang ketat.

Keputusan dihentikan atau diperpanjang menjadi krusial mengingat Jakarta adalah pusat perekonomian Indonesia.


TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap) Next Article Sentuh Rp 16.500/US$, Rupiah Terus Terpuruk

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular