
Besok Rupiah di Bawah Rp 14.000/US$? Bisa!
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
03 June 2020 16:18

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali melaju kencang melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (3/6/2020), semakin mendekati level Rp 14.000/US$. Sentimen pelaku pasar yang sedang bagus menjadi penopang penguatan rupiah.
Berdasarkan data Refinitiv, rupiah hari ini mengakhiri perdagangan di level Rp 14.050/US$ melesat 2,29% di pasar spot. Rupiah saat ini berada di level terkuat sejak 27 Februari. Sementara Selasa kemarin, Mata Uang Garuda membukukan penguatan 1,34%, dan pada periode April-Mei tercatat melesat lebih dari 10%.
Jika momentum penguatan dalam dua hari terakhir masih terjaga, besok rupiah tentu dengan mudah mampu menembus Rp 14.000/US$.
Tetapi patut diingat Rp 14.000/US$ merupakan level psikologis, seandainya berhasil dilewati, rupiah kemungkinan akan 'bermain-main' di kisaran area tersebut, belum akan melesat lebih jauh lagi, setidaknya dalam waktu dekat.
Mood pelaku pasar global sedang bagus akibat new normal atau singkatnya menjalankan kehidupan dengan protokol kesehatan yang ketat di tengah pandemi penyakit virus corona (Covid-19) mulai dilakukan di seluruh belahan bumi ini. Dengan demikian, roda bisnis perlahan kembali berputar sehingga berpeluang terlepas dari ancaman resesi global.
Ketika mood investor sedang bagus, aliran modal akan kembali masuk ke negara emerging market yang memberikan imbal hasil tinggi. Aset-aset Indonesia pun menarik kembali, sehingga rupiah menjadi garang.
Tetapi, ada risiko yang cukup besar dibalik new normal yang bisa membuat rupiah malah melemah kembali menjauhi Rp 14.000/US$ ke depannya.
Risiko pertama tentunya dari kemungkinan terjadinya gelombang kedua penyebaran Covid-19, jika itu sampai terjadi maka kebijakan lockdown bisa kembali diterapkan, roda perekonomian bisa kembali terhenti dan aksi jual di pasar keuangan terjadi lagi.
Ketika lockdown kembali diterapkan, mood pelaku pasar akan memburuk, aliran modal akan keluar lagi dari Indonesia, dan rupiah berisiko mengalami 'tragedi' ambrol seperti pada Maret lalu.
Korea Selatan menjadi bukti adanya risiko penyebaran Covid-19 gelombang kedua. Korea Selatan di awal Mei berhasil menekan penyebaran Covid-19 hingga penambahan kasus per harinya hanya 1 digit, tetapi kini kembali konsisten bertambah 2 digit. Pada 27 Mei lalu terjadi penambahan kasus sebanyak 79 orang, menjadi yang tertinggi sejak 4 April.
Oleh karena itu, pelonggaran lockdown harus dilakukan dengan sangat hati-hati, dan bertahap agar tidak terjadi lonjakan kasus signifikan.
Kemudian risiko yang kedua, masih belum bisa ditebak sejauh apa performa ekonomi saat new normal. Ekspektasi yang tinggi bisa menimbulkan kekecewaan yang besar, dan sekali lagi, bisa memicu aksi jual.
Amerika Serikat contohnya, roda bisnis kembali diputar meski perlahan dalam 2 pekan terakhir, tetapi kontraksi tajam perekonomian membayangi di kuartal ini.
Dalam proyeksi terbarunya, Federal Reserve (The Fed) Atlanta memprediksi produk domestik bruto (PDB) AS di kuartal II-2020 akan mengalami kontraksi alias minus 52,8% setelah rilis data PMI manufaktur AS di awal pekan.
Belanja konsumen yang berkontribusi sekitar 68% dari total PDB AS diprediksi akan terkontraksi sebesar 58,1%, kemudian investasi swasta dengan kontribusi 17% dari PDB diramal berkontraksi 62,6%.
Proyeksi dari The Fed Atlanta berubah-ubah menyesuaikan dengan rilis indikator ekonomi, dan akan semakin akurat ketika mendekati akhir kuartal II-2020, yakni 30 Juni nanti.
Dengan proyeksi kontraksi nyaris 53% saat ini, rasa-rasanya sulit untuk rebound signifikan meski roda perekonomian mulai diputar lagi.
China bisa menjadi contoh bagaimana perekonomian bekerja setelah Covid-19 berhasil diredam. Negara awal virus corona, sudah melonggarkan lockdown sejak bulan Maret, awalnya perekonomian bangkit dengan cepat, tetapi kemudian kembali melambat. Hal tersebut terlihat dari sektor manufaktur yang kembali berekspansi (angka indeks di atas 50) dalam 3 bulan beruntun setelah mengalami kontraksi (angka indeks di bawah 50) tajam di bulan Februari.
Minggu (31/5/2020) lalu, purchasing managers' index (PMI) manufaktur China bulan Mei dilaporkan sebesar 50,6, melambat dari bulan sebelumnya 50,8. Di bulan Maret, PMI manufaktur China berada di level 52, naik tajam ketimbang bulan Februari sebesar 35,7, yang merupakan kontraksi terdalam sepanjang sejarah.
Data PMI manufaktur China tersebut memberikan gambaran pemulihan ekonomi V-shape, merosot tajam akibat pandemi Covid-19, dan melesat naik ketika penyebaranya virus corona berhasil diredam. Tetapi patut dicatat, ekspansi tersebut mengalami pelambatan lagi dua bulan terakhir.
Artinya, perekonomian tidak bisa lepas landas begitu saja, masih ada tantangan yang harus dihadapi. Jika kinerja ekonomi tidak sesuai yang diharapkan, sentimen pelaku pasar bisa kembali memburuk, dan rupiah berisiko menjauhi lagi Rp 14.000/US$. Oleh karena itu, new normal jangan dijadikan sebagai euforia, dan menilai kondisi saat dengan dengan perlahan dan bertahap.
Berdasarkan data Refinitiv, rupiah hari ini mengakhiri perdagangan di level Rp 14.050/US$ melesat 2,29% di pasar spot. Rupiah saat ini berada di level terkuat sejak 27 Februari. Sementara Selasa kemarin, Mata Uang Garuda membukukan penguatan 1,34%, dan pada periode April-Mei tercatat melesat lebih dari 10%.
Jika momentum penguatan dalam dua hari terakhir masih terjaga, besok rupiah tentu dengan mudah mampu menembus Rp 14.000/US$.
Tetapi patut diingat Rp 14.000/US$ merupakan level psikologis, seandainya berhasil dilewati, rupiah kemungkinan akan 'bermain-main' di kisaran area tersebut, belum akan melesat lebih jauh lagi, setidaknya dalam waktu dekat.
Mood pelaku pasar global sedang bagus akibat new normal atau singkatnya menjalankan kehidupan dengan protokol kesehatan yang ketat di tengah pandemi penyakit virus corona (Covid-19) mulai dilakukan di seluruh belahan bumi ini. Dengan demikian, roda bisnis perlahan kembali berputar sehingga berpeluang terlepas dari ancaman resesi global.
Ketika mood investor sedang bagus, aliran modal akan kembali masuk ke negara emerging market yang memberikan imbal hasil tinggi. Aset-aset Indonesia pun menarik kembali, sehingga rupiah menjadi garang.
Tetapi, ada risiko yang cukup besar dibalik new normal yang bisa membuat rupiah malah melemah kembali menjauhi Rp 14.000/US$ ke depannya.
Risiko pertama tentunya dari kemungkinan terjadinya gelombang kedua penyebaran Covid-19, jika itu sampai terjadi maka kebijakan lockdown bisa kembali diterapkan, roda perekonomian bisa kembali terhenti dan aksi jual di pasar keuangan terjadi lagi.
Ketika lockdown kembali diterapkan, mood pelaku pasar akan memburuk, aliran modal akan keluar lagi dari Indonesia, dan rupiah berisiko mengalami 'tragedi' ambrol seperti pada Maret lalu.
Korea Selatan menjadi bukti adanya risiko penyebaran Covid-19 gelombang kedua. Korea Selatan di awal Mei berhasil menekan penyebaran Covid-19 hingga penambahan kasus per harinya hanya 1 digit, tetapi kini kembali konsisten bertambah 2 digit. Pada 27 Mei lalu terjadi penambahan kasus sebanyak 79 orang, menjadi yang tertinggi sejak 4 April.
Oleh karena itu, pelonggaran lockdown harus dilakukan dengan sangat hati-hati, dan bertahap agar tidak terjadi lonjakan kasus signifikan.
Kemudian risiko yang kedua, masih belum bisa ditebak sejauh apa performa ekonomi saat new normal. Ekspektasi yang tinggi bisa menimbulkan kekecewaan yang besar, dan sekali lagi, bisa memicu aksi jual.
Amerika Serikat contohnya, roda bisnis kembali diputar meski perlahan dalam 2 pekan terakhir, tetapi kontraksi tajam perekonomian membayangi di kuartal ini.
Dalam proyeksi terbarunya, Federal Reserve (The Fed) Atlanta memprediksi produk domestik bruto (PDB) AS di kuartal II-2020 akan mengalami kontraksi alias minus 52,8% setelah rilis data PMI manufaktur AS di awal pekan.
Belanja konsumen yang berkontribusi sekitar 68% dari total PDB AS diprediksi akan terkontraksi sebesar 58,1%, kemudian investasi swasta dengan kontribusi 17% dari PDB diramal berkontraksi 62,6%.
Proyeksi dari The Fed Atlanta berubah-ubah menyesuaikan dengan rilis indikator ekonomi, dan akan semakin akurat ketika mendekati akhir kuartal II-2020, yakni 30 Juni nanti.
Dengan proyeksi kontraksi nyaris 53% saat ini, rasa-rasanya sulit untuk rebound signifikan meski roda perekonomian mulai diputar lagi.
China bisa menjadi contoh bagaimana perekonomian bekerja setelah Covid-19 berhasil diredam. Negara awal virus corona, sudah melonggarkan lockdown sejak bulan Maret, awalnya perekonomian bangkit dengan cepat, tetapi kemudian kembali melambat. Hal tersebut terlihat dari sektor manufaktur yang kembali berekspansi (angka indeks di atas 50) dalam 3 bulan beruntun setelah mengalami kontraksi (angka indeks di bawah 50) tajam di bulan Februari.
Minggu (31/5/2020) lalu, purchasing managers' index (PMI) manufaktur China bulan Mei dilaporkan sebesar 50,6, melambat dari bulan sebelumnya 50,8. Di bulan Maret, PMI manufaktur China berada di level 52, naik tajam ketimbang bulan Februari sebesar 35,7, yang merupakan kontraksi terdalam sepanjang sejarah.
Data PMI manufaktur China tersebut memberikan gambaran pemulihan ekonomi V-shape, merosot tajam akibat pandemi Covid-19, dan melesat naik ketika penyebaranya virus corona berhasil diredam. Tetapi patut dicatat, ekspansi tersebut mengalami pelambatan lagi dua bulan terakhir.
Artinya, perekonomian tidak bisa lepas landas begitu saja, masih ada tantangan yang harus dihadapi. Jika kinerja ekonomi tidak sesuai yang diharapkan, sentimen pelaku pasar bisa kembali memburuk, dan rupiah berisiko menjauhi lagi Rp 14.000/US$. Oleh karena itu, new normal jangan dijadikan sebagai euforia, dan menilai kondisi saat dengan dengan perlahan dan bertahap.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular