Rupiah Sang 'Raja' Mata Uang Dunia, Sudah Tempel 14.000/US$

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
03 June 2020 15:43
Dollar-Rupiah
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah "menggila" pada perdagangan Rabu (3/5/2020) melawan dolar dolar Amerika Serikat (AS) setelah menempel level Rp 14.000/US$. Mata uang Asia hingga mata uang Eropa semua dilibas.

Tidak sekadar menguat, tetapi rupiah menguat sangat tajam. Sentimen pelaku pasar yang sedang bagus merespon new normal menjadi penopang penguatan rupiah.

Begitu perdagangan hari ini dibuka, rupiah langsung melesat 1,18% melawan dolar AS ke Rp 14.210/US$. Apresiasi rupiah semakin bertambah hingga mengakhiri perdagangan di Rp 14.050/US$, melesat 2,29% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Rupiah kini berada di level terkuat sejak 27 Februari. Jika momentum penguatan bisa dipertahankan, rupiah tentu sangat mudah menembus Rp 14.000/US$ besok. 

Mata uang Asia hingga Eropa semua dibuat melemah lebih dari 1% dan sebagian lebih dari 2%, tak ada mata uang yang mampu membendung penguatan rupiah, sehingga menjadi "raja" mata uang dunia pada hari ini.



Selain dolar AS, perdagangan rupiah dengan mata uang lainnya masih berlangsung, sehingga persentase penguatan tersebut bisa berubah.

Mood pelaku pasar global sedang bagus akibat new normal atau singkatnya menjalankan kehidupan dengan protokol kesehatan yang ketat di tengah pandemi penyakit virus corona (Covid-19) mulai dilakukan di seluruh belahan bumi ini. Dengan demikian, roda bisnis perlahan kembali berputar sehingga berpeluang terlepas dari ancaman resesi global.

Negara-negara di Asia dan Eropa hampir semuanya akan memutar kembali roda perekonomiannya dengan melonggarkan kebijakan karantina wilayah (lockdown). Begitu juga dengan Amerika Serikat, negara dengan nilai ekonomi terbesar di dunia.



Ketika mood investor sedang bagus, aliran modal akan kembali masuk ke negara emerging market yang memberikan imbal hasil tinggi. Aset-aset Indonesia pun menarik kembali, rupiah pun "seng ada lawan" alias tanpa tanding.

Derasnya aliran modal ke dalam negeri terbukti dari lelang obligasi atau Surat Berharga Negara (SBN) kemarin yang penawarannya mencapai 105,27 triliun. Ada 7 seri SBN yang dilelang kemarin, dengan target indikatif pemerintah sebesar US$ 20 triliun, artinya terjadi kelebihan permintaan (oversubscribed) 5,2 kali.

Pemerintah menyerap Rp 24,3 triliun dari seluruh penawaran yang masuk, di atas target indikatif, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan.

Data dari DJPPR juga menunjukkan sepanjang bulan Mei hingga tanggal 29 terjadi inflow di pasar obligasi sebesar Rp 7,07 triliun.

Di pasar saham juga terjadi inflow yang cukup besar dalam 2 hari terakhir. Berdasarkan data RTI, Selasa kemarin investor asing net buy sebesar Rp 872,35 miliar di all market. Sementara pada hari ini net buy tercatat Rp 1,5 triliun. 

Besarnya aliran modal yang masuk ke dalam negeri menjadi indikasi tingkat kepercayaan investor asing yang jauh membaik.

[Gambas:Video CNBC]



Rupiah juga didukung data-data terbaru dari dalam negeri juga mendukung penguatan rupiah. Kemarin, data purchasing managers' index (PMI) manufaktur Indonesia bulan Mei dirilis sedikit membaik, menjadi 28,6 dari bulan April sebesar 27,5.

Meski masih berkontraksi (di bawah 50), setidaknya angka indeks mulai bergerak naik. Dengan penerapan new normal mulai bulan ini, PMI manufaktur tentunya akan semakin naik, dan tidak menutup kemungkinan kembali berekspansi (di atas 50). 

Selain itu, Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini merilis Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Mei 2020. BPS mencatat terjadi inflasi 0,07% di Mei 2020. Sebanyak 67 kota terjadi inflasi sementara 23 kota deflasi.

Rendahnya inflasi memang bisa memberikan gambaran penurunan daya beli masyarakat akibat banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat pandemi Covid-19. Tetapi secara investasi, inflasi yang rendah membuat riil return berinvestasi di Indonesia menjadi lebih tinggi. Sehingga aliran modal asing bisa deras masuk ke dalam negeri, dan rupiah menjadi perkasa. 



Tidak hanya new normal dan data ekonomi, penguatan rupiah juga tidak lepas dari "restu" Bank Indonesia (BI).

Gubernur BI, Perry Warjiyo dalam paparan Perkembangan Ekonomi Terkini, Perry mengatakan nilai tukar rupiah saat ini masih undervalue, dan ke depannya akan kembali menguat ke nilai fundamentalnya, kembali ke level sebelum pademi penyakit virus corona (Covid-19) terjadi di kisaran Rp 13.600-13.800/US$. 

"Ke depan nilai tukar rupiah akan menguat ke fundamentalnya. Fundamental diukur dari inflasi yang rendah, current account deficit (CAD) yang lebih rendah, itu akan menopang penguatan rupiah. Aliran modal asing yang masuk ke SBN juga memperkuat nilai tukar rupiah" kata Perry, Kamis (28/5/2020). 

Kami yakni nilai tukar rupiah masih undervalue, dan berpeluang terus menguat ke arah fundamentalnya" tegas Perry. 

Pernyataan Perry tersebut berbeda dengan sebelumnya yang mengatakan rupiah akan berada di kisaran Rp 15.000/US$ di akhir tahun. Rupiah kini disebut akan menguat ke nilai fundamentalnya, sehingga memberikan dampak psikologis ke pasar jika Mata Uang Garuda masih berpeluang menguat lebih jauh.


TIM RISET CNBC INDONESIA 



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular