
Investor Bernafsu Incar Surat Utang Pemerintah, Sampai Kapan?

Pada perdagangan kemarin nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat 1,43%, US$ 1 dibanderol Rp 14.380/US$ di pasar spot. Sementara Rabu ini (3/6/2020), US$ 1 dihargai Rp 14.210 kala pembukaan pasar spot. Rupiah menguat tajam 1,18% dibandingkan posisi penutupan perdagangan sehari sebelumnya.
Bahkan beberapa pekan terakhir kurs rupiah terus membukukan penguatan yang signifikan. Penguatan rupiah ini juga tidak lepas dari 'restu' Bank Indonesia (BI).
Gubernur BI, Perry Warjiyo dalam paparan Perkembangan Ekonomi Terkini, mengatakan bahwa nilai tukar rupiah saat ini masih undervalue, dan ke depannya akan kembali menguat ke nilai fundamentalnya, kembali ke level sebelum pademi penyakit virus corona (Covid-19) terjadi di kisaran Rp 13.600-13.800/US$.
Kedua adalah inflasi, Indeks Harga Konsumen (IHK) di Indonesia pada bulan Mei 2020 tumbuh 0,07% dibandingkan bulan sebelumnya ketika berada di 0,08% di saat konsensus memprakirakan untuk pembacaan 0,04%. Inflasi yang masih terjaga di kisaran 3% plus minus 1% membuat rupiah menguat dan juga berdampak ke pasar SBN.
Faktor ketiga adalah defisit transaksi berjalan (CAD) yang membaik. BI mencatat CAD pada kuartal pertama tahun ini mencapai minus 1,4% dari PDB, lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Keempat yaitu tingkat imbal hasil (yield) yang ditawarkan SBN Indonesia cenderung lebih tinggi dibandingkan negara lainnya. Yield tenor 10 tahun Indonesia saat ini berada di level 7,67%
Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, begitupun sebaliknya. Yield menjadi acuan keuntungan investor di pasar surat utang dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
Namun ada pula faktor yang bisa membuat investor untuk menjauhi pasar SBN. Salah satunya adalah tensi perang dagang antara AS-China, ketika ketegangan geopolitik semakin memanas maka aset-aset berisiko dan juga aset pendapatan tetap (fixed income) seperti SBN cenderung di jauhi karena investor lebih memilih aset safe haven sebagai lindung nilai.
Sementara perkembangan seputar pandemi virus corona, saat ini sejumlah negara di belahan dunia mulai melonggarkan lockdown guna mengaktifkan kembali roda bisnis perekonomian yang sempat mati suri.
Berdasarkan catatan terkini dari Worldometer jumlah kasus terpapar virus corona di sejumlah negara mencapai lebih dari 6,4 juta orang dengan korban jiwa sebanyak 381.706 orang.
Seiring pelonggaran lockdown, pelaku bisnis dan juga masyarakat perlu mematuhi protokol kesehatan. Jika protokol tersebut tidak dijalankan sebagaimana mestinya, maka bukan tidak mungkin akan terjadi gelombang kedua pandemi (second wave outbreak). Sehingga investor kembali mengurungkan dirinya untuk masuk pasar keuangan dan lebih memilih uang tunai (cash).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(har/har)