
Menghitung Hari, Dolar Singapura Bakal ke Bawah Rp 10.000/SG$
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
03 June 2020 11:15

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Singapura ambles melawan rupiah pada perdagangan Rabu (3/6/2020), hingga mendekati Rp 10.100/SG$. Sentimen pelaku pasar global yang sedang bagus-bagusnya membuat rupiah menjadi perkasa sejak kemarin.
Pada pukul 10:11 WIB, SG$ 1 setara Rp 10.118,71, dolar Singapura merosot 1,44% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Level tersebut merupakan yang terendah sejak 2 Maret lalu. Selasa kemarin, mata uang Negeri Merlion ini juga melemah 0,82%.
Jika momentum penguatan rupiah tetap terjaga, maka dolar Singapura tinggal menghitung hari ambles ke bawah Rp 10.000/SG$.
Mood pelaku pasar global sedang bagus akibat new normal atau singkatnya menjalankan kehidupan dengan protokol kesehatan yang ketat di tengah pandemi penyakit virus corona (Covid-19) mulai dilakukan di seluruh belahan bumi ini. Dengan demikian, roda bisnis perlahan kembali berputar sehingga berpeluang terlepas dari ancaman resesi global.
Negara-negara di Asia, Eropa hampir semuanya akan memutar kembali roda perekonomiannya dengan melonggarkan kebijakan karantina wilayah (lockdown). Begitu juga dengan Amerika Serikat, negara dengan nilai ekonomi terbesar di dunia.
Ketika mood investor sedang bagus, aliran modal akan kembali masuk ke negara emerging market yang memberikan imbal hasil tinggi. Aset-aset Indonesia pun menarik kembali.
Data dari Indonesia yang dirilis kemarin menunjukkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur Indonesia sedikit membaik di bulan Mei, menjadi 28,6 dari bulan April sebesar 27,5. Meski masih berkontraksi (di bawah 50), setidaknya angka indeks mulai bergerak naik. Dengan penerapan new normal mulai bulan ini, PMI manufaktur tentunya akan semakin naik, dan tidak menutup kemungkinan kembali berekspansi (di atas 50).
Selain itu, Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini merilis Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Mei 2020. BPS mencatat terjadi inflasi 0,07% di Mei 2020. Sebanyak 67 kota terjadi inflasi sementara 23 kota deflasi.
Rendahnya inflasi memang bisa memberikan gambaran penurunan daya beli masyarakat akibat banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat pandemi Covid-19. Tetapi secara investasi, inflasi yang rendah membuat riil return berinvestasi di Indonesia menjadi lebih tinggi. Sehingga aliran modal asing bisa deras masuk ke dalam negeri, dan rupiah menjadi perkasa.
Derasnya aliran modal ke dalam negeri terbukti dari lelang obligasi atau Surat Berharga Negara (SBN) kemarin yang penawarannya mencapai 105,27 triliun. Ada 7 seri SBN yang dilelang kemarin, dengan target indikatif pemerintah sebesar US$ 20 triliun, artinya terjadi kelebihan permintaan (oversubscribed) 5,2 kali.
Pemerintah menyerap Rp 24,3 triliun dari seluruh penawaran yang masuk, di atas target indikatif, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan.
Ketika aliran modal deras masuk ke Indonesia yang menguatkan rupiah, dolar Singapura justru kurang bergairah. Meski sudah memutar kembali roda perekonomiannya sekitar 80%, Negeri Merlion masih belum lepas dari ancaman resesi.
Pada kuartal I-2020, ekonomi Singapura mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) -2,2% year-on-year (YoY). Sepanjang 2020, pemerintah memperkirakan kontraksi ekonomi berada di kisaran -4% hingga -7%.
Artinya, Singapura kemungkinan besar mengalami resesi di kuartal II-2020. Dengan kondisi yang berkebalikan tersebut, peluang dolar Singapura turun ke bawah Rp 10.000/US$ dalam waktu dekat terbuka cukup lebar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Kurs Dolar Singapura Tembus Rp 11.500, Termahal dalam Sejarah
Pada pukul 10:11 WIB, SG$ 1 setara Rp 10.118,71, dolar Singapura merosot 1,44% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Level tersebut merupakan yang terendah sejak 2 Maret lalu. Selasa kemarin, mata uang Negeri Merlion ini juga melemah 0,82%.
Jika momentum penguatan rupiah tetap terjaga, maka dolar Singapura tinggal menghitung hari ambles ke bawah Rp 10.000/SG$.
Negara-negara di Asia, Eropa hampir semuanya akan memutar kembali roda perekonomiannya dengan melonggarkan kebijakan karantina wilayah (lockdown). Begitu juga dengan Amerika Serikat, negara dengan nilai ekonomi terbesar di dunia.
Ketika mood investor sedang bagus, aliran modal akan kembali masuk ke negara emerging market yang memberikan imbal hasil tinggi. Aset-aset Indonesia pun menarik kembali.
Data dari Indonesia yang dirilis kemarin menunjukkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur Indonesia sedikit membaik di bulan Mei, menjadi 28,6 dari bulan April sebesar 27,5. Meski masih berkontraksi (di bawah 50), setidaknya angka indeks mulai bergerak naik. Dengan penerapan new normal mulai bulan ini, PMI manufaktur tentunya akan semakin naik, dan tidak menutup kemungkinan kembali berekspansi (di atas 50).
Selain itu, Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini merilis Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Mei 2020. BPS mencatat terjadi inflasi 0,07% di Mei 2020. Sebanyak 67 kota terjadi inflasi sementara 23 kota deflasi.
Rendahnya inflasi memang bisa memberikan gambaran penurunan daya beli masyarakat akibat banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat pandemi Covid-19. Tetapi secara investasi, inflasi yang rendah membuat riil return berinvestasi di Indonesia menjadi lebih tinggi. Sehingga aliran modal asing bisa deras masuk ke dalam negeri, dan rupiah menjadi perkasa.
Derasnya aliran modal ke dalam negeri terbukti dari lelang obligasi atau Surat Berharga Negara (SBN) kemarin yang penawarannya mencapai 105,27 triliun. Ada 7 seri SBN yang dilelang kemarin, dengan target indikatif pemerintah sebesar US$ 20 triliun, artinya terjadi kelebihan permintaan (oversubscribed) 5,2 kali.
Pemerintah menyerap Rp 24,3 triliun dari seluruh penawaran yang masuk, di atas target indikatif, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan.
Ketika aliran modal deras masuk ke Indonesia yang menguatkan rupiah, dolar Singapura justru kurang bergairah. Meski sudah memutar kembali roda perekonomiannya sekitar 80%, Negeri Merlion masih belum lepas dari ancaman resesi.
Pada kuartal I-2020, ekonomi Singapura mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) -2,2% year-on-year (YoY). Sepanjang 2020, pemerintah memperkirakan kontraksi ekonomi berada di kisaran -4% hingga -7%.
Artinya, Singapura kemungkinan besar mengalami resesi di kuartal II-2020. Dengan kondisi yang berkebalikan tersebut, peluang dolar Singapura turun ke bawah Rp 10.000/US$ dalam waktu dekat terbuka cukup lebar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Kurs Dolar Singapura Tembus Rp 11.500, Termahal dalam Sejarah
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular