
Bukan Dolar, Mata Uang Ini Bikin Goldman Sachs Kesemsem

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank investasi asal AS, Goldman Sachs mulai memasang posisi jual (short) terhadap dolar AS seiring dengan rencana pembukaan kembali ekonomi beberapa negara akibat pandemi Covid-19 yang diprediksi bisa memicu investor keluar dari memegang mata uang safe-haven tradisional seperti dolar AS.
Dalam catatan selama akhir pekan lalu, ahli strategi forex dari Goldman mengatakan bahwa ketika mereka mempertahankan analisis bahwa masih terlalu dini memanfaatkan "penurunan dolar AS secara langsung dan berkelanjutan karena adanya siklus keseimbangan risiko, maka posisi short atau jual atas dolar AS menjadi menarik ketimbang long (beli).
Goldman menyebutkan beberapa sentimen yang menekan dolar AS di antaranya rencana pembukaan kembali ekonomi beberapa negara yang mulai stabil akibat pandemi, lalu bukti terbatas adanya kenaikan tingkat infeksi Covid1-9.
Selain itu sentimen lain ialah langkah kebijakan seperti progres dari Dana Pemulihan Uni Eropa (EU Recovery Fund), program pinjaman senilai 750 miliar euro (US$ 834,1 miliar) yang dirancang untuk membantu menopang perekonomian Eropa guna melawan pandemi coronavirus.
Secara khusus, bank investasi yang didirikan pada 1869 dan bermarkas di New York City ini justru membidik krone Norwegia (NOK) sebagai posisi yang baik untuk mengungguli mata uang lainnya selama sisa krisis coronavirus.
Bahkan Goldman merekomendasikan short untuk pasangan USD/NOK dengan target harga di level 8,75 krone per dolar AS, dengan level stop loss (berhenti) jika krone terdepresiasi ke level 10,25 per dolar AS. Krone saat ini diperdagangkan di level 9,68 terhadap dolar AS.
Praktek short selling mata uang dilakukan dengan meminjam mata uang itu sendiri, menjualnya pada harga pasar saat ini dan kemudian menunggu harga turun untuk membeli kembali mata uang tersebut pada harga yang lebih rendah dan mengembalikan pinjaman. Pelaku short selling mendapat untung jika mata uang mengalami depresiasi selama periode waktu tersebut.
Di pasar saham Indonesia, dikenal dengan sebutan jual kosong, jual barang yang belum dimiliki. Pada transaksi short selling, pelaku pasar justru berharap efek/saham/mata uang yang ditransaksikannya turun guna mengambil selisih keuntungan ketika dia menjual di harga tinggi.
"Kondisi demografi dan infrastruktur medis domestik [Norwegia] menjadikan negara ini lebih siap menghadapi wabah ketimbang banyak negara lain. [Ditambah lagi] posisi fiskal yang kuat menempatkan [Norwegia] pada keuntungan yang berbeda," tulis analis Goldman, yang dipimpin oleh Co-Head pertukaran mata uang global Goldman, Zach Pandl dan Kamakshya Trivedi, dalam catatan, dilansir CNBC International, Selasa (2/6/2020).
"Saat [negara] lain terpaksa membatasi dukungan kebijakan fiskal atau secara dramatis menambah pinjaman - keduanya berpotensi memicu mata uangnya negatif - Norwegia mampu mengembalikan dana dari investasinya di luar negeri, membantu mendukung ekonomi dan mata uangnya [terapresiasi]," tulis Goldman.
Pada Minggu, Norwegia mengumumkan akan meningkatkan transaksi harian dana investasi di luar negeri dari NOK 2,1 miliar, menjadi NOK 2,3 miliar atau setara Rp 3,5 triliun (asumsi 1 NOK: Rp 1.503).
Pada Senin pagi, Norwegia melaporkan 8.440 kasus Covid-19 dan 236 kematian, setelah mengambil langkah-langkah ketat untuk mengurangi virus pada 12 Maret dan mengembangkan kapasitas pengujian virus corona yang lebih substansial.
Negara ini juga mengumumkan rencana stimulus fiskal fase ketiga pada Maret dan mengembangkan dua skema pinjaman dan penjaminan yang didukung pemerintah untuk menyediakan likuiditas bagi bisnis perusahaan-perusahaan di Norwegia.
(tas/sef) Next Article New Normal, Goldman Sachs Sarankan Jual Dolar AS, Kenapa?
