Round Up Sepekan

Asing Masuk SBN Rp6,15 T, Obligasi RI Sepekan Menguat

Haryanto, CNBC Indonesia
30 May 2020 17:50
Obligasi (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Obligasi (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga obligasi rupiah pemerintah Indonesia yang bertenor 10 tahun selama sepekan ini terapresiasi 0,61% dengan penurunan yield 4,7 basis poin (bps) menjadi 7,676%.

Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, begitupun sebaliknya.  Yield menjadi acuan keuntungan investor di pasar surat utang dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.

Apresiasi dalam obligasi karena sentimen positif yang datang dari kabar menggembirakan terkait vaksin virus corona, pelonggaran lockdown dan pembukaan kembali ekonomi (reopening) serta rencana pemberian stimulus lanjutan oleh pemerintah AS dan Uni Eropa. Diputarnya kembali roda perekonomian memberikan optimisme investor untuk masuk ke aset pendapatan tetap hingga aset berisiko.

 

 

Bank Indonesia (BI) mencatat saat ini aliran modal asing masuk (inflow) ke Indonesia terus meningkat. Bahkan dalam tiga hari aliran modal asing masuk banjiri RI terutama ke Surat Berharga Negara (SBN).

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, pada minggu pertama bulan Mei, terdapat inflow tipis sebesar Rp 2,97 triliun. Sementara untuk periode 18-20 Mei, ada inflow ke SBN yang nilainya mencapai Rp 6,15 triliun.

Perry mengatakan masuknya inflow ke dalam negeri dikarenakan kepanikan di pasar keuangan global karena pandemi Covid-19 sudah mulai mereda. Selain itu juga karena kebijakan yang dilakukan oleh BI, pemerintah serta otoritas terkait dalam menangani pandemi tersebut.

Naiknya pasar surat utang sepekan ini senada dengan penguatan rupiah di pasar valas. Nilai tukar rupiah melawan dolar Amerika Serikat (greenback) pada perdagangan sepekan ini (week-on-week/WoW) juga terapresiasi atau menguat 0,72%. Kini US$ 1 di pasar spot dibanderol Rp 14.575/US$.

 

Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam paparan Perkembangan Ekonomi Terkini mengatakan bahwa nilai tukar rupiah saat ini masih undervalue, dan ke depannya akan kembali menguat ke nilai fundamentalnya, kembali ke level sebelum pandemi penyakit virus corona (Covid-19) terjadi di kisaran Rp 13.600-13.800/US$.

"Ke depan nilai tukar rupiah akan menguat ke fundamentalnya. Fundamental diukur dari inflasi yang rendah, current account deficit (CAD) yang lebih rendah, itu akan menopang penguatan rupiah. Aliran modal asing yang masuk ke SBN (Surat Berharga Negara) juga memperkuat nilai tukar rupiah" kata Perry, Kamis (28/5/2020).

Beberapa indikator makro yang jadi patokan BI dalam memberikan outlook rupiah ke depan ada tiga. Pertama adalah inflasi yang terjaga. BI yang melakukan survey pemantauan harga (SPH) memperkirakan inflasi bulan Mei ini akan rendah di angka 0,09% secara month to month dan 2,21% secara tahunan. Inflasi yang masih terjaga di kisaran 3% plus minus 1% membuat rupiah menguat.

Indikator kedua adalah defisit transaksi berjalan (CAD) yang membaik. BI mencatat CAD pada kuartal pertama tahun ini mencapai minus 1,4% dari PDB, lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Selain itu, Bank Indonesia (BI) melaporkan kenaikan cadangan devisa di bulan April. Kenaikan tersebut terutama dipengaruhi oleh penerbitan global bond pemerintah. Cadangan devisa Indonesia pada April 2020 tercatat sebesar US$ 127,9 miliar, atau naik US$ 6,9 miliar dari bulan sebelumnya.

Selanjutnya atau ketiga yaitu Gubernur Perry menjelaskan faktor masih menariknya imbal hasil surat utang pemerintah RI masih terbilang menarik dengan imbal hasil (yield) di kisaran 7%. Hal ini membuat masuknya aliran modal asing dalam bentuk portofolio investasi ke SBN dan bisa menopang rupiah yang kecanduan 'hot money'.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(har/har) Next Article Corona Terjang Ekspor Impor, Harga Obligasi RI Tak Berdaya

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular