
'Direstui' BI & Didukung Pasar, Rupiah Siap Juara Dunia Lagi!
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
29 May 2020 17:03

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (29/5/2020), setelah mendapat angin segar dari Bank Indonesia (BI).
Rupiah mengakhiri perdagangan di level Rp 14.575/US$, menguat 0,68% di pasar spot, melansir data Refintiv. Rupiah kini berada di level terkuat sejak 12 Maret lalu, dan membukukan penguatan 3 pekan beruntun.
Jika melihat lebih ke belakangan, rupiah sudah menguat dalam 7 dari 8 pekan terakhir. Sejak awal April, rupiah sudah menguat lebih dari 10%. Namun, jika dilihat sejak akhir 2019 hingga hari ini atau secara year-to-date (YTD), rupiah masih melemah 5,01%, akibat kemerosotan tajam di bulan Maret lalu ketika menyentuh level Rp 16.620/US$
Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam paparan Perkembangan Ekonomi Terkini kemarin mengatakan nilai tukar rupiah saat ini masih undervalue, dan ke depannya akan kembali menguat ke nilai fundamentalnya, kembali ke level sebelum pandemi penyakit virus corona (Covid-19) terjadi di kisaran Rp 13.600-13.800/US$.
"Ke depan nilai tukar rupiah akan menguat ke fundamentalnya. Fundamental diukur dari inflasi yang rendah, current account deficit (CAD) yang lebih rendah, itu akan menopang penguatan rupiah. Aliran modal asing yang masuk ke SBN (Surat Berharga Negara) juga memperkuat nilai tukar rupiah" kata Perry, Kamis (28/5/2020).
"Kami yakni nilai tukar rupiah masih undervalue, dan berpeluang terus menguat ke arah fundamentalnya" tegas Perry.
Pernyataan Perry tersebut berbeda dengan sebelumnya yang mengatakan rupiah akan berada di kisaran Rp 15.000/US$ di akhir tahun. Rupiah kini disebut akan menguat ke nilai fundamentalnya, sehingga memberikan dampak psikologis ke pasar jika mata uang Garuda masih berpeluang menguat lebih jauh.
Jika rupiah kembali ke level Rp 13.600/US$, maka rupiah berpeluang kembali menjadi juara dunia alias mata uang dengan kinerja terbaik di dunia. Gelar tersebut sempat diraih rupiah pada bulan Januari lalu, sementara saat ini juara dunia dipegang oleh pound Mesir dengan penguatan sebesar 1,3%.
Jika rupiah kembali ke level Rp 13.600/US$, artinya secara YTD akan mencatat penguatan 2,02%, yang dan tentunya bisa kembali menjadi juara dunia jika kinerja mata uang lainnya tidak sebagus rupiah.
Inflasi yang rendah memang bisa menjadi penopang penguatan rupiah, sebabnya riil return yang didapat pelaku pasar ketika berinvestasi di Indonesia.
Yield obligasi Indonesia saat ini relatif lebih tinggi ketimbang negara-negara yang lainnya, kemudian dengan inflasi yang rendah tentunya cuan yang diperoleh investor akan lebih besar. Oleh karena itu, aliran modal berpeluang masuk deras ke pasar obligasi Indonesia yang akan jadi penopang penguatan rupiah.
Pada Kamis kemarin, yield obligasi Indonesia tenor 10 tahun berada di level 7,675%, jauh lebih tinggi di bandingkan negara-negara G20 dan beberapa negara ASEAN.
Dari tabel di atas, hanya yield obligasi Afrika Selatan yang lebih tinggi dari Indonesia, tetapi peringkat kreditnya masih di bawah Indonesia dan belum masuk investment grade.
Tabel di atas juga menunjukkan inflasi berdasarkan data yang dirilis terakhir. Inflasi Indonesia di bulan April sebesar 2,67% year-on-year (YoY), masih lebih rendah dibandingkan Afrika Selatan dan India, sehingga riil return yang dihasilkan tentunya jauh lebih tinggi.
Inflasi di bulan Mei bahkan diprediksi akan lebih rendah lagi oleh BI.
"Berdasarkan Survei Pemantauan Harga (SPH) sampai minggu keempat, kami perkirakan pada Mei inflasi sangat rendah yaitu 0,09% month-to-month. Secara tahunan adalah 2,21%," kata Perry
Selain itu, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) di kuartal I-2020 jauh membaik.
BI pada 20 Mei lalu melaporkan CAD di kuartal I-2020 setara dengan 1,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Membaik dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 2,8% PDB. Defisit tersebut merupakan yang terendah sejak kuartal II-2017.
Transaksi Berjalan menjadi faktor penting dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil, berbeda dengan pos transaksi finansial, komponen Neraca Pembayaran Indonesia lainnya, yang pergerakannya begitu fluktuatif karena berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Akibat CAD yang besar, pergerakan rupiah menjadi sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa.
Ketika CAD menurun maka pasokan devisa di perekonomian nasional semakin membaik, dan amunisi BI untuk menstabilkan rupiah menjadi lebih besar. Hal itu bisa memberikan kepercayaan bagi pelaku pasar terhadap stabilitas nilai tukar rupiah, dan tentunya lebih merasa nyaman berinvestasi di Indonesia.
Faktor-faktor tersebut membuat BI optimis aliran modal akan kembali masuk ke pasar obligasi Indonesia ketika sentimen pelaku pasar semakin membaik, yang pada akhirnya akan membuat rupiah kembali perkasa.
Rupiah mengakhiri perdagangan di level Rp 14.575/US$, menguat 0,68% di pasar spot, melansir data Refintiv. Rupiah kini berada di level terkuat sejak 12 Maret lalu, dan membukukan penguatan 3 pekan beruntun.
Jika melihat lebih ke belakangan, rupiah sudah menguat dalam 7 dari 8 pekan terakhir. Sejak awal April, rupiah sudah menguat lebih dari 10%. Namun, jika dilihat sejak akhir 2019 hingga hari ini atau secara year-to-date (YTD), rupiah masih melemah 5,01%, akibat kemerosotan tajam di bulan Maret lalu ketika menyentuh level Rp 16.620/US$
Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam paparan Perkembangan Ekonomi Terkini kemarin mengatakan nilai tukar rupiah saat ini masih undervalue, dan ke depannya akan kembali menguat ke nilai fundamentalnya, kembali ke level sebelum pandemi penyakit virus corona (Covid-19) terjadi di kisaran Rp 13.600-13.800/US$.
"Ke depan nilai tukar rupiah akan menguat ke fundamentalnya. Fundamental diukur dari inflasi yang rendah, current account deficit (CAD) yang lebih rendah, itu akan menopang penguatan rupiah. Aliran modal asing yang masuk ke SBN (Surat Berharga Negara) juga memperkuat nilai tukar rupiah" kata Perry, Kamis (28/5/2020).
"Kami yakni nilai tukar rupiah masih undervalue, dan berpeluang terus menguat ke arah fundamentalnya" tegas Perry.
Pernyataan Perry tersebut berbeda dengan sebelumnya yang mengatakan rupiah akan berada di kisaran Rp 15.000/US$ di akhir tahun. Rupiah kini disebut akan menguat ke nilai fundamentalnya, sehingga memberikan dampak psikologis ke pasar jika mata uang Garuda masih berpeluang menguat lebih jauh.
Jika rupiah kembali ke level Rp 13.600/US$, maka rupiah berpeluang kembali menjadi juara dunia alias mata uang dengan kinerja terbaik di dunia. Gelar tersebut sempat diraih rupiah pada bulan Januari lalu, sementara saat ini juara dunia dipegang oleh pound Mesir dengan penguatan sebesar 1,3%.
Jika rupiah kembali ke level Rp 13.600/US$, artinya secara YTD akan mencatat penguatan 2,02%, yang dan tentunya bisa kembali menjadi juara dunia jika kinerja mata uang lainnya tidak sebagus rupiah.
Inflasi yang rendah memang bisa menjadi penopang penguatan rupiah, sebabnya riil return yang didapat pelaku pasar ketika berinvestasi di Indonesia.
Yield obligasi Indonesia saat ini relatif lebih tinggi ketimbang negara-negara yang lainnya, kemudian dengan inflasi yang rendah tentunya cuan yang diperoleh investor akan lebih besar. Oleh karena itu, aliran modal berpeluang masuk deras ke pasar obligasi Indonesia yang akan jadi penopang penguatan rupiah.
Pada Kamis kemarin, yield obligasi Indonesia tenor 10 tahun berada di level 7,675%, jauh lebih tinggi di bandingkan negara-negara G20 dan beberapa negara ASEAN.
Dari tabel di atas, hanya yield obligasi Afrika Selatan yang lebih tinggi dari Indonesia, tetapi peringkat kreditnya masih di bawah Indonesia dan belum masuk investment grade.
Tabel di atas juga menunjukkan inflasi berdasarkan data yang dirilis terakhir. Inflasi Indonesia di bulan April sebesar 2,67% year-on-year (YoY), masih lebih rendah dibandingkan Afrika Selatan dan India, sehingga riil return yang dihasilkan tentunya jauh lebih tinggi.
Inflasi di bulan Mei bahkan diprediksi akan lebih rendah lagi oleh BI.
"Berdasarkan Survei Pemantauan Harga (SPH) sampai minggu keempat, kami perkirakan pada Mei inflasi sangat rendah yaitu 0,09% month-to-month. Secara tahunan adalah 2,21%," kata Perry
Selain itu, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) di kuartal I-2020 jauh membaik.
BI pada 20 Mei lalu melaporkan CAD di kuartal I-2020 setara dengan 1,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Membaik dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 2,8% PDB. Defisit tersebut merupakan yang terendah sejak kuartal II-2017.
Transaksi Berjalan menjadi faktor penting dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil, berbeda dengan pos transaksi finansial, komponen Neraca Pembayaran Indonesia lainnya, yang pergerakannya begitu fluktuatif karena berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Akibat CAD yang besar, pergerakan rupiah menjadi sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa.
Ketika CAD menurun maka pasokan devisa di perekonomian nasional semakin membaik, dan amunisi BI untuk menstabilkan rupiah menjadi lebih besar. Hal itu bisa memberikan kepercayaan bagi pelaku pasar terhadap stabilitas nilai tukar rupiah, dan tentunya lebih merasa nyaman berinvestasi di Indonesia.
Faktor-faktor tersebut membuat BI optimis aliran modal akan kembali masuk ke pasar obligasi Indonesia ketika sentimen pelaku pasar semakin membaik, yang pada akhirnya akan membuat rupiah kembali perkasa.
Next Page
Pasar Mulai Kalem, Premi Risiko Menurun
Pages
Most Popular