
Analisis Teknikal
Sempat Dibanting, Ada Sinyal Kuat Emas Bakal Kembali Melesat
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
28 May 2020 17:20

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas dunia melemah tipis 0,14% ke US$ 1.708,87/troy ons pada perdagangan Rabu (27/5/2020) kemarin, setelah sebelumnya sempat melemah lebih dari 1% ke US$ 1.693,22/troy ons.
Secara teknikal, pergerakan emas yang disimbolkan XAU/USD kemarin tersebut membentuk pola Hammer pada grafik candle stick. Pola ini merupakan kebalikan dari Shooting Star yang muncul pada 18 Mei lalu, dan membuat emas melemah hingga ke bawah US$ 1.700/troy ons kemarin.
Jika dilihat pada grafik harian, body (badan) candle stick kecil di bagian atas, sementara tail (ekor) panjang ke bawah. Pola tersebut disebut Hammer, dan kerap dijadikan sinyal pembalikan arah atau XAU/USD akan bergerak naik, alias emas berpeluang kembali menguat.
Secara psikologis, pola Hammer menunjukkan trader yang mengambil posisi long (beli) emas berusaha mendominasi pasar.
Selain itu, emas juga bertahan di atas Bullish Channel (garis biru), sehingga munculnya pola Hammer menjadi sinyal bullish continuation atau berlanjutnya tren naik.
Level psikologis US$ 1.700/troy ons masih menjadi support (tahanan bawah) terdekat, selama bertahan di atas area tersebut, emas berpeluang menguat menguji resisten (tahanan atas) di US$ 1.720/troy ons. Hari ini, Kamis (28/5/2020) emas sudah menguji resisten tersebut, jika di penutupan perdagangan nanti berakhir di atasnya, emas akan mendapat momentum penguatan lebih lanjut.
Target penguatan terdekat ke US$ 1.746 - 1.750/troy ons, jika berhasil dilewati emas akan membuka jalan menuju US$ 1.800/troy ons.
Pola Hammer ini akan batal jika emas melemah hingga ke bawah US$ 1.680/US$.
Secara fundamental, harapan akan perekonomian segera bangkit setelah mulai banyak negara yang memutar kembali roda perekonomian serta semakin banyaknya vaksin potensial untuk virus corona menjadi sentimen negatif bagi emas.
Tetapi, untuk jangka panjang, outlook emas masih bullish. Pada bulan April lalu, Bank of America (BofA) memprediksi harga emas akan ke US$ 3.000/US$ dalam 18 bulan ke depan. Analis dari BofA tersebut melihat perekonomian global yang mengalami resesi, kemudian stimulus fiskal serta peningkatan neraca bank sentral akan membuat pelaku pasar memburu emas sebagai investasi, sehingga harganya akan melonjak.
Pandemi Covid-19 yang membuat perekonomian global menuju jurang resesi.
Akibatnya bank sentral di berbagai negara menerapkan kebijakan ultra longgar dengan memangkas suku bunga bahkan menerapkan kebijakan yang tidak biasa (unconventional) seperti program pembelian aset (quantitative easing/QE).
Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang paling agresif, di bawah pimpinan Jerome Powell suku bunga dibabat habis hingga menjadi 0-0,25%, kemudian mengaktifkan kembali program QE dengan nilai tanpa batas. Berapapun akan digelontorkan agar likuiditas di perekonomian AS tidak mengetat akibat pandemi Covid-19 yang membuat roda perekonomian melambat bahkan nyaris terhenti.
Di tahun 2008 ketika terjadi krisis finansial global, The Fed dan bank sentral lainnya di Eropa menerapkan kebijakan yang sama, suku bunga rendah serta QE, dampaknya harga emas terus bergerak naik hingga mencapai rekor tertinggi sepanjang masa pada tahun 2011.
Itu baru The Fed, bank sentral lainnya juga menerapkan kebijakan yang sama, bank sentral Australia misalnya, untuk pertama kalinya sepanjang sejarah menerapkan program QE akibat pandemi Covid-19.
Saat ini, tidak hanya bank sentral yang mengambil kebijakan agresif. Pemerintah di berbagai negara juga menggelontorkan stimulus fiskal guna menanggulangi Covid-19. Pemerintah AS sudah menggelontorkan stimulus senilai US$ 2 triliun, terbesar sepanjang sejarah. Kebijakan tersebut membuat perekonomian global banjir likuiditas, lagi-lagi kondisi yang menguntungkan bagi emas.
Kebijakan moneter dan fiskal tersebut membuat Ole Hansen, Kepala Ahli Strategi Komoditas di Saxo Bank, memprediksi dalam jangka panjang emas akan di atas US$ 4.000/troy ons.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Jangan Tunda, Yuk Mulai Investasi Emas
Secara teknikal, pergerakan emas yang disimbolkan XAU/USD kemarin tersebut membentuk pola Hammer pada grafik candle stick. Pola ini merupakan kebalikan dari Shooting Star yang muncul pada 18 Mei lalu, dan membuat emas melemah hingga ke bawah US$ 1.700/troy ons kemarin.
Jika dilihat pada grafik harian, body (badan) candle stick kecil di bagian atas, sementara tail (ekor) panjang ke bawah. Pola tersebut disebut Hammer, dan kerap dijadikan sinyal pembalikan arah atau XAU/USD akan bergerak naik, alias emas berpeluang kembali menguat.
![]() Foto: Refinitiv |
Selain itu, emas juga bertahan di atas Bullish Channel (garis biru), sehingga munculnya pola Hammer menjadi sinyal bullish continuation atau berlanjutnya tren naik.
Level psikologis US$ 1.700/troy ons masih menjadi support (tahanan bawah) terdekat, selama bertahan di atas area tersebut, emas berpeluang menguat menguji resisten (tahanan atas) di US$ 1.720/troy ons. Hari ini, Kamis (28/5/2020) emas sudah menguji resisten tersebut, jika di penutupan perdagangan nanti berakhir di atasnya, emas akan mendapat momentum penguatan lebih lanjut.
Target penguatan terdekat ke US$ 1.746 - 1.750/troy ons, jika berhasil dilewati emas akan membuka jalan menuju US$ 1.800/troy ons.
Pola Hammer ini akan batal jika emas melemah hingga ke bawah US$ 1.680/US$.
Secara fundamental, harapan akan perekonomian segera bangkit setelah mulai banyak negara yang memutar kembali roda perekonomian serta semakin banyaknya vaksin potensial untuk virus corona menjadi sentimen negatif bagi emas.
Tetapi, untuk jangka panjang, outlook emas masih bullish. Pada bulan April lalu, Bank of America (BofA) memprediksi harga emas akan ke US$ 3.000/US$ dalam 18 bulan ke depan. Analis dari BofA tersebut melihat perekonomian global yang mengalami resesi, kemudian stimulus fiskal serta peningkatan neraca bank sentral akan membuat pelaku pasar memburu emas sebagai investasi, sehingga harganya akan melonjak.
Pandemi Covid-19 yang membuat perekonomian global menuju jurang resesi.
Akibatnya bank sentral di berbagai negara menerapkan kebijakan ultra longgar dengan memangkas suku bunga bahkan menerapkan kebijakan yang tidak biasa (unconventional) seperti program pembelian aset (quantitative easing/QE).
Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang paling agresif, di bawah pimpinan Jerome Powell suku bunga dibabat habis hingga menjadi 0-0,25%, kemudian mengaktifkan kembali program QE dengan nilai tanpa batas. Berapapun akan digelontorkan agar likuiditas di perekonomian AS tidak mengetat akibat pandemi Covid-19 yang membuat roda perekonomian melambat bahkan nyaris terhenti.
Di tahun 2008 ketika terjadi krisis finansial global, The Fed dan bank sentral lainnya di Eropa menerapkan kebijakan yang sama, suku bunga rendah serta QE, dampaknya harga emas terus bergerak naik hingga mencapai rekor tertinggi sepanjang masa pada tahun 2011.
Itu baru The Fed, bank sentral lainnya juga menerapkan kebijakan yang sama, bank sentral Australia misalnya, untuk pertama kalinya sepanjang sejarah menerapkan program QE akibat pandemi Covid-19.
Saat ini, tidak hanya bank sentral yang mengambil kebijakan agresif. Pemerintah di berbagai negara juga menggelontorkan stimulus fiskal guna menanggulangi Covid-19. Pemerintah AS sudah menggelontorkan stimulus senilai US$ 2 triliun, terbesar sepanjang sejarah. Kebijakan tersebut membuat perekonomian global banjir likuiditas, lagi-lagi kondisi yang menguntungkan bagi emas.
Kebijakan moneter dan fiskal tersebut membuat Ole Hansen, Kepala Ahli Strategi Komoditas di Saxo Bank, memprediksi dalam jangka panjang emas akan di atas US$ 4.000/troy ons.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Jangan Tunda, Yuk Mulai Investasi Emas
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular