
'Direstui' BI & Didukung Pasar, Rupiah Siap Juara Dunia Lagi!
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
29 May 2020 17:03

Pada bulan Maret lalu, rupiah sempat mengalami aksi jual masif hingga ambrol ke Rp 16.620/US$ yang merupakan level terlemah sejak krisis moneter 1998. Kala itu, terjadi kepanikan di pasar global akibat pandemi Covid-19, yang membuat arus modal keluar dari dalam negeri hingga ratusan triliun rupiah.
Tingkat kepanikan tersebut bisa dilihat dari global volatility index (VIX).
Ketika rupiah mengalami gejolak VIX berada di atas 80 yang menjadi level tertinggi sejak krisis finansial global tahun 2008. Saat ini volatility index sudah jauh menurun, berada di bawah level 30.
Pergerakan rupiah dan VIX terlihat beriringan jika melihat di bulan Januari dan Februari, ketika VIX bergerak di bawah angka 20. Rupiah saat itu sedang perkasa melawan dolar AS. Ketika VIX melesat ke atas 80, rupiah turut melemah, kemudian VIX turun ke bawah 30, rupiah juga terus menguat.
Hal tersebut menunjukkan betapa rentannya rupiah terhadap mood investor global. Maklum saja, seperti yang disebutkan sebelumnya, pergerakan rupiah sangat dipengaruhi hot money.
Meredanya kepanikan global juga sejalan dengan menurunnya premi risiko utang yang dicerminkan oleh credit default swap (CDS) Indonesia. Semakin tinggi CDS, maka risiko gagal bayar semakin tinggi.
Gubernur Perry kemarin mengatakan CDS telah menurun ketimbang bulan Maret lalu, dan diprediksi akan terus turun, yang dapat membantu rupiah menguat ke menuju nilai fundamentalnya.
CDS adalah kontrak derivatif swap di mana pembeli melakukan pembayaran ke penjual atas penutupan risiko gagal bayar (default) debiturnya. Artinya, dia mendapatkan pembayaran bila terjadi gagal bayar atau kejadian lain yang mengancam pembayaran kredit yang ada.
Dalam praktiknya, CDS bisa menjadi patokan persepsi risiko berinvestasi. Ketika premi CDS suatu negara meningkat, maka pasar derivatif mengasumsikan bahwa risiko berinvestasi atau memegang surat utang di negara tersebut juga meningkat.
Pada 23 Maret, CDS tenor 5 tahun sempat mencapai 281,26 basis poin (bps) dan tenor 10 tahun 351,79 bps, yang merupakan lalu level tertinggi sejak September 2015. Saat ini CDS kedua tenor tersebut sudah menurun jauh berada di 158,63 bps dan 223,59 bps, tetapi masih cukup jauh di bandingkan bulan Februari lalu ketika CDS tenor 5 tahun sempat di bawah 60 bps dan tenor 10 tahun di kisaran 122 bps.
(pap/pap)
Tingkat kepanikan tersebut bisa dilihat dari global volatility index (VIX).
Ketika rupiah mengalami gejolak VIX berada di atas 80 yang menjadi level tertinggi sejak krisis finansial global tahun 2008. Saat ini volatility index sudah jauh menurun, berada di bawah level 30.
Pergerakan rupiah dan VIX terlihat beriringan jika melihat di bulan Januari dan Februari, ketika VIX bergerak di bawah angka 20. Rupiah saat itu sedang perkasa melawan dolar AS. Ketika VIX melesat ke atas 80, rupiah turut melemah, kemudian VIX turun ke bawah 30, rupiah juga terus menguat.
Hal tersebut menunjukkan betapa rentannya rupiah terhadap mood investor global. Maklum saja, seperti yang disebutkan sebelumnya, pergerakan rupiah sangat dipengaruhi hot money.
Meredanya kepanikan global juga sejalan dengan menurunnya premi risiko utang yang dicerminkan oleh credit default swap (CDS) Indonesia. Semakin tinggi CDS, maka risiko gagal bayar semakin tinggi.
Gubernur Perry kemarin mengatakan CDS telah menurun ketimbang bulan Maret lalu, dan diprediksi akan terus turun, yang dapat membantu rupiah menguat ke menuju nilai fundamentalnya.
CDS adalah kontrak derivatif swap di mana pembeli melakukan pembayaran ke penjual atas penutupan risiko gagal bayar (default) debiturnya. Artinya, dia mendapatkan pembayaran bila terjadi gagal bayar atau kejadian lain yang mengancam pembayaran kredit yang ada.
Dalam praktiknya, CDS bisa menjadi patokan persepsi risiko berinvestasi. Ketika premi CDS suatu negara meningkat, maka pasar derivatif mengasumsikan bahwa risiko berinvestasi atau memegang surat utang di negara tersebut juga meningkat.
Pada 23 Maret, CDS tenor 5 tahun sempat mencapai 281,26 basis poin (bps) dan tenor 10 tahun 351,79 bps, yang merupakan lalu level tertinggi sejak September 2015. Saat ini CDS kedua tenor tersebut sudah menurun jauh berada di 158,63 bps dan 223,59 bps, tetapi masih cukup jauh di bandingkan bulan Februari lalu ketika CDS tenor 5 tahun sempat di bawah 60 bps dan tenor 10 tahun di kisaran 122 bps.
(pap/pap)
Next Page
Keyakinan BI 'Diamini' Pelaku Pasar
Pages
Most Popular